martes, 5 de enero de 2016
My article on KOMPAS KLASS, Jan. 5 : Transforming BRAIN DRAIN to BRAIN BANK
As usual, I post here my ORIGINAL (not edited by the newspaper) article :) . We had a long discussion about the title, the possibilities are: Quo Vadis, Musikus Muda? and Berbakti untuk Negeri, Di Luar Negeri, but at last we settle down with Mengubah Brain Drain jadi Brain Bank. So, here it is. .............................................................................................................................................
Mungkin banyak dari kita yang masih belum sadar, bahwa jumlah pelajar Indonesia yang kuliah musik sastra (istilah yang menurut penulis lebih tepat daripada "musik klasik" karena artinya "musik yang tertulis") di luar negeri saat ini mencapai ratusan jumlahnya. Dua di antaranya adalah gitaris John Paul dan penyanyi soprano Jessica J. Januar "JJ" yang 18 Desember lalu diundang oleh Instituto Italiano di Jakarta untuk menggelar konser yang inspiratif. JJ memang baru saja lulus dari kuliahnya di Guildhall School of Music (London), sedangkan John Paul masih kuliah di Cimarosa Conservatory of Music (Italia) , dibawah bimbingan gitaris ternama dunia, Aniello Desiderio. John berhasil "menembus antrian" ratusan gitaris muda yang berambisi untuk menimba ilmu dari sang Maestro kelahiran Napoli ini. .............................................................................................................................................
Nilai artistik serta kepekaan musikal mereka tentu tidak diragukan lagi, dan bukan untuk itu saya menulis artikel ini. Saya ingin menekankan visi dan metode mereka dalam programming konser mereka, yang menyatukan musik Italia dan Indonesia. Di konser ini JJ memang hanya menyanyikan 2 lagu sebagai bintang tamu, tapi John Paul dengan gitarnya bukan semata-mata pamer virtuositas dengan karya-karya yang sudah sangat populer oleh Moreno Torroba atau F. Tarrega (anda mungkin tidak tahu nama ini walaupun tema karyanya Gran Valse digunakan Nokia untuk ringtone-nya yang anda kantongi selama bertahun-tahun). Memang, para komponis paling terkemuka dunia untuk gitar kebanyakan berasal dari Spanyol, dan memang John Paul memainkan Invocation & Dance karya Joaquin Rodrigo sebagai pembuka. Tapi menu utama konsernya adalah mahakarya komponis Italia, Mario Castelnuovo Tedesco, "Sonata Omaggio a Boccherini" yang panjangnya sekitar 18 menit (terasa lebih pendek sewaktu dimainkan John Paul, bukan karena tempo permainan yang cepat, tapi karena pendalaman struktural dan musikalitas yang jauh melebihi sekedar jemari menari di atas instrumen membuat karya ini menjadi utuh dan ekspresif). Kemudian Jessica hadir, karena kebetulan malam itu komponis Indonesia yang mereka persembahkan adalah karya saya untuk soprano dan gitar. Meskipun 2 lagu saya itu berdasarkan puisi Walt Whitman dan Henry Longfellow, ada unsur keindonesiaan dalam musiknya. Saya tidak akan mengulas karya sendiri di sini, hanya ingin menekankan bahwa dengan membawa identitas Indonesia, mereka memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh musikus Eropa yang sehingga dapat membantu mereka untuk menonjol (stand-out) dari para kolega mereka. Pemilihan mereka untuk karya berbahasa Inggris pun cerdas, karena karya tersebut dapat lebih berkomunikasi dengan pendengar asing. Tingkat kesulitan karya saya tidak setinggi karya Rodrigo atau Castelnuovo Tedesco, tapi pada akhirnya yang dibutuhkan penonton memang bukan akrobat virtuositas, melainkan kekuatan komunikasi para musikus ke penonton, dan untuk itu dibutuhkan kematangan bermusik seperti yang dimiliki mereka berdua. Satu not bisa saja lebih ekspresif dari ribuan not-not yang bertebaran dan secara cepat dibawakan oleh jemari atau pita suara yang lentur. Dengan menyandingkan Tedesco dengan saya, komunikasi antar budaya Italia dan Indonesia terjalin di konser ini. .............................................................................................................................................
Mereka mewakili banyak pemusik muda Indonesia yang berprestasi gemilang di luar negeri. Pianis Edith Widayani (yang kini sedang menempuh program Doktor di Eastman School of Music) menjadi pemenang pertama di Chopin Competition di Amerika tahun 2014. Soprano Bernadeta Astari yang lulus dengan Summa Cum Laude dari Utrecht Conservatory of Music adalah anggota Nederlandse Reisopera yang bergengsi dan menjadi tokoh utama berbagai opera di Belanda dan sekitarnya. Penyanyi countertenor Julius Firdaus setelah lulus sebagai "Musician of the Year 2013" di Australian International Conservatory of Music (Sydney) menjadi kepala dari departemen untuk rehearsals di Sydney Opera House dimana dia juga menjadi solois dalam beberapa produksi opera. Saya hanya menyebut 3 contoh yang paling menonjol dan telah memenangkan berbagai kompetisi internasional serta melanglang ke mancanegara, dan jika diteruskan, artikel ini hanya akan berisi nama-nama lain. Memang kita masih jauh di bawah --dan saya kira tidak akan mencapai-- Cina dimana ada 40 juta lebih pianis (dan pemain instrumen lain juga mencapai jutaan), tapi jumlah pemusik genre ini masih terus meningkat dengan pesat di Indonesia. .............................................................................................................................................
Di salah satu perbincangan saya dengan mantan Presiden B.J. Habibie, beliau mengatakan bahwa beliau bisa mengerti jika para lulusan bidang musik sastra tidak mau pulang ke Indonesia karena ketidakjelasannya lapangan pekerjaan di sini. Waktu itu beliau mengacu ke saya dan membandingkannya dengan pengalaman beliau di bidang teknologi. Tapi apakah itu berarti bahwa kami yang "kecantol" di luar negeri itu memang tidak berguna untuk negara? .............................................................................................................................................
Seperti pak Habibie, saya percaya bahwa kaum diaspora tetap atau bahkan dapat lebih berguna untuk tanah kelahiran jika tinggal di luar negeri. "Cari makan" di negeri orang itu bukan "pengkhianatan" terhadap negara asalnya, karena kami tidak menghabiskan uang negara. Bahkan kaum diaspora yang cerdas, ambisius, jujur, cinta terhadap pekerjaannya serta idealis malah membawa nama negara selama ada di luar. Istilah "brain drain" dengan terjemahan harafiahnya ("otak terkuras") malah menjadi lebih tepat jika mereka yang punya keahlian khusus itu tidak dapat terpakai di dalam negeri karena negara belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk itu. Sekarang, dengan minat di musik sastra yang begitu besar di Indonesia (walaupun baru di kota-kota besar), banyak lapangan kerja terbuka untuk para musikus lulusan luar negeri: sebagai pengajar, pemain orkes, pengisi musik untuk teater, film dan tari. Selain itu, saya pun telah membuktikan bahwa konser dan rekaman CD maupun distribusi lewat toko daring seperti iTunes dengan musik sastra Indonesia cukup diminati; memang tidak bisa dibandingkan dengan penghasilan dari musik pop, tapi ini sebuah indikasi yang bagus. .............................................................................................................................................
Manajemen untuk jenis musik ini di Indonesia pun masih dalam tahap uji coba, karena jenis musik ini memang membutuhkan cara yang berbeda dengan musik-musik lain yang lebih komersial, ditambah dengan cara penerimaan publik Indonesia (dan negara-negara Asia pada umumnya) yang berbeda. Memang manajemen ini bisa dipelajari di Eropa, tapi tidak segampang itu menerapkannya di Indonesia dan Asia. Indonesian problems need Indonesian solutions, itu selalu dasar pemikiran saya di Indonesia, setelah tinggal hampir 30 tahun di Eropa. Bahkan penurunan drastis minat publik terhadap musik sastra di Eropa sendiri pun adalah kesalahan marketing dan manajemen seni yang bertumpu pada subsidi pemerintah lokal (yang terus menyusut drastis) dan bukan dari penggalangan minat penonton, yang ironisnya masih diterapkan di banyak fakultas manajemen seni di Eropa. .............................................................................................................................................
Salah siapakah sampai fenomena brain drain ini terjadi? Siapapun yang anda tunjuk, yang bisa kita lakukan adalah berpikir bagaimana memaksimalisasi para ahli ini untuk negaranya sendiri dan mengubah brain drain menjadi brain bank. Cina baru saja meluncurkan sebuah proyek untuk mengembangkan 100 universitas menjadi lembaga kelas dunia yang tidak hanya memberikan pendidikan tinggi, tetapi juga lapangan kerja akademik dan kesempatan penelitian. Pemerintahan Uni-Eropa kini sedang berusaha meningkatkan daya tarik Eropa menjadi daerah penelitian dan jumlah dana yang ditujukan untuk sumber daya manusia di program lima-tahunan Research Framework Programme dari ke 6 dan ke-7 telah digandakan dari € 18 M ke € 50 M. Indonesia, dengan kekayaan musik daerahnya sangat berpotensi juga untuk digali, diteliti dan dikembangkan untuk musik sastra seperti yang telah saya lakukan di Rapsodia Nusantara yang kini telah menjadi bagian dari jemari ratusan pianis di mancanegara, dengan "efek sampingan" positifnya adalah pelestarian lagu-lagu daerah yang sudah banyak yang punah itu. Pastinya ada banyak cara lain untuk mengeksploitasi kekayaan budaya kita, bukan? .............................................................................................................................................
Ananda Sukarlan,
Pianis & komponis,
@anandasukarlan
Etiquetas:
Bernadeta Astari,
Edith Widayani,
Habibie,
Jessica Januar,
John Paul,
Julius Firdaus