domingo, 27 de diciembre de 2015

My article (in 2 editions) on Sarasvati Magazine, in Indonesian

The cultural magazine SARASVATI commissioned me for an article on classical music, and I came up with the idea of writing about myths and popular (untrue) stories in this field. But it turned out that I found too many of them, so I asked the magazine if I could write a longer article, to be published in 2 editions. They accepted. So, here is the first one, my original (not the published & edited one) on the November edition. The title was originally "What you wanna know in classical music but are afraid to ask" (sorry for referring to Woody Allen's great movie, substituting the word "classical music" with "sex"), but the published title is changed into "Debunking Myths in classical music" (which is in fact better, and inspirational for me to write the second article to be published in December. I will post it in a few days here.) ............................................................................................................................................. Apa yang anda ingin ketahui di dunia musik klasik tapi malu bertanya ............................................................................................................................................. Dunia musik sastra (istilah yang saya kira lebih tepat untuk menggantikan "musik klasik") kelihatan berlimpah glamour, misteri, kompleksitas ... dan mitos-mitos yang banyak dari kita malu untuk bertanya tentang kebenarannya. Saya ingin membahas beberapa di antaranya dalam 2 tulisan berseri. Setelah membaca ini, mungkin pembaca ingin bertanya mitos-mitos yang lain, bisa silakan tweet ke @anandasukarlan untuk saya pertimbangkan di artikel di penerbitan Sarasvati bulan depan. ............................................................................................................................................. 1. "The Mozart Effect" ............................................................................................................................................. Ada "fakta" yang sangat populer sejak th. 90-an bahwa hanya dengan mendengarkan Mozart dapat menambah poin untuk IQ kita, bahkan untuk bayi yang sedang di kandungan. Mitos tentang Mozart Effect ini berasal dari "studi" yang menghubungkan antara nilai lebih tinggi yang dicapai pada tes spasial-temporal tertentu setelah mendengarkan musik Mozart yang banyak dipublikasi di media sosial. Padahal sampai sekarang tidak ada yang pernah bisa membuktikan bahwa hanya musik Mozart memiliki efek yang berefek pada inteligensi. Faktanya adalah bahwa memainkan satu instrumen memang menuntut menggunakan bagian-bagian otak yang biasanya tidak digunakan, karena ini menyangkut aktivitas aural, menerjemahkan not di atas kertas menjadi bunyi, koordinasi beberapa indera, serta menstimulasi sensitivitas terhadap nilai-nilai artistik. Hal inilah yang bisa menaikkan kecerdasan, dan bukan hanya dengan musik Mozart. Kalau cuma soal mendengarkan secara pasif, saya sendiri punya teori sebaliknya: mungkin justru karena seseorang itu kecerdasannya di atas rata-rata lah makanya ia bisa "mengerti" musik sastra yang cenderung biasanya lebih terelaborasi strukturnya dan durasinya lebih panjang yang membutuhkan attention span yang lebih intens. Mendengarkan musik bisa memberikan dampak psikologis jangka pendek, dan belajar main instrumen bisa memberikan dampak jangka panjang. Tetapi bukan berarti kecerdasan manusia bisa meningkat secara instan dan musik juga tidak langsung dapat mengatasi masalah gangguan inteligensi. ............................................................................................................................................. 2. Musik klasik itu kuno, dan bikinan komponis yang sudah mati. ............................................................................................................................................. Fakta ini hanya terjadi di sekitar 50 tahun terakhir. Sampai wafatnya Rachmaninov (1945) mereka masih memainkan karya-karyanya sendiri maupun kolega-kolega semasanya, bahkan terus sampai wafatnya Stravinsky (1971) atau Britten (1976). Tapi sejak itu, dunia ini terbelah dua: mereka yang "mencipta" dan yang "memainkan", antara lain karena lahirnya para "raksasa piano" yang memiliki teknik pianistik luar biasa tapi tidak mencipta musik seperti Artur Rubinstein dan Vladimir Horowitz yang menjadi inspirator utama banyak komponis abad 20. Jadi mulai ada pemain piano, biola dll yang tidak membuat musik, dan "komponis" itu bisa tinggal di rumah saja menulis, karena yang memainkan karyanya adalah orang lain, walaupun sekali-sekali ia masih naik panggung, baik memainkan instrumennya ataupun memimpin orkes atau grup musik sebagai dirigen. Ini juga mengapa saya ingin menawarkan istilah "musik sastra" sebagai pengganti "musik klasik", karena "sastra" itu berarti tertulis (di atas partitur). Itu tidak berarti yang menulis sudah tua / mati ("klasik"). Sekarang fenomena ini sudah mulai balik lagi ke zaman seperti dahulu, dimana komponis adalah juga seorang performer, seperti pianis Marc Andre Hamelin, pianis/dirigen Andre Previn dan juga saya sendiri yang aktif sebagai komponis DAN pemain. ............................................................................................................................................. 3. Bagus tidaknya permainan satu orkes itu tergantung dari dirigennya. ............................................................................................................................................. Bahkan ada pepatah "There are no bad orchestras, only bad conductors". Salah besar. Jika sang dirigen "error" , musisi di grup yang profesional tetap bisa melanjutkan permainan mereka. Memang selalu ada musisi di orkes itu yang memberi aba-aba untuk rekan-rekannya, tapi itu membuktikan bahwa dirigen itu memang diperlukan untuk memudahkan, tapi tidak mutlak. Yang pasti mereka sangat "overestimated" dan bayaran mereka sering tidak masuk akal yang justru bisa membuat bangkrut sebuah orkes, seperti yang ditulis Norman Lebrecht di bukunya "The Maestro Myth" (2001). Bahkan sekarang mulai bermunculan orkes tanpa dirigen, yang sangat menghemat biaya, karena biaya latihan ekstra masih lebih murah daripada membayar "superstar conductor". Sebaliknya, kalau musikus di orkes itu tidak berkualitas baik, siapapun yang berdiri di depan orkes tidak akan bisa membuat sebuah konser menjadi baik. ............................................................................................................................................. 4. Musik klasik itu sedang sekarat. ............................................................................................................................................. Jika anda google "classical music", google akan otomatis melanjutkan: "is dying", yang menunjukkan betapa hip-nya frase ini. Faktanya: 1. dalam 10 tahun terakhir subsidi pemerintah Eropa untuk ini memang telah menyusut banyak. 2. Eropa tidak melakukan regenerasi penonton dengan membuat program-program yang inovatif, jadi penonton muda tidak lagi mendatangi gedung konser. Ini memang berarti popularitasnya sangat menurun di Eropa, tapi sebaliknya di Asia musik ini sedang booming dengan terdatanya lebih dari 40 juta (ya benar, nolnya tujuh!) pianis hanya di Cina saja, dari profesional sampai yang sedang belajar di sekolah musik. Musik sastra tidak akan bisa mati, karena ini tergantung dari produsen dan konsumen, dan balance ini sangat sehat situasinya di Asia. Selain itu, siapa yang tidak tersentuh dan tergugah oleh musik Bach yang ditulis 300 tahun lalu? Keuntungannya, Asia tidak terikat tradisi "European classical music" yang ketat, sehingga para pelaku musik bisa lebih bebas dalam programming. Struktur program konser standar di Eropa itu yang justru membosankan, dan kita di Asia harusnya lebih inovatif. Berbagai masalah juga berbeda, sehingga solusinya tidak bisa semata-mata dengan "menjiplak" Eropa. Orkes simfoni pun disini problemnya jauh berbeda, dan saya selalu mengacu ke konsep saya bahwa Indonesian problem needs Indonesian solution, yang berhubungan dengan cara kerja dan berpikir musikus di sini, cara organisasi perusahaan (baca: orkes) sampai ke pemenuhan harapan publik bahkan kemacetan jalan di Jakarta. ............................................................................................................................................. 5. Guru piano A ahli dalam style Beethoven, sedangkan B lebih mengerti Bach ............................................................................................................................................. Tentu saja tiap komponis memiliki "style" dan ciri khas tersendiri, tapi bagaimana seseorang bisa menyatakan bahwa "main Bach itu harus begini/begitu"? Apa dia pernah dengar Bach main karyanya sendiri, rekaman dari abad 18? Yang betul adalah, interpretasi musik seorang komponis ditentukan bukan hanya dengan mengenal 1 atau 2 karyanya, tapi sebanyak mungkin karyanya untuk lebih mengenal style-nya. Tapi pada akhirnya, klaim bahwa "komponis A harus dimainkan dengan cara begini" itu 100% adalah teori dan pendapat pribadi, kalau memang tidak ada rekaman dari permainan sang komponis itu sendiri. Kita sekarang bisa bicara secara jauh lebih akurat tentang style-nya Rachmaninov, Stravinsky dll karena ada rekaman permainan mereka sendiri, tapi jika seorang peserta kompetisi digugurkan oleh juri karena "style permainan Bach-nya tidak akurat", juri itu dapat didebat dengan mudah: bagaimana anda tahu bahwa style-nya harusnya seperti yang anda nyatakan? (Bersambung)

martes, 22 de diciembre de 2015

Memukul Dengan Kepekaan (article published in KOMPAS, November 9th 2015)

This is the article I wrote, commissioned by KOMPAS and published November 9th, about Harry Murti, a master builder of drums & percussion instruments. His contribution, together with the students and members of Jakarta Drum School during my opera CLARA last year was so crucial, and they are participating again in my next opera of next year, Tumirah, Sang Mucikari. Some numbers of this new opera will be performed during the Jakarta New Year Concert on January 10th, at Titan Center, Bintaro, sung by the same vocalists of the actual complete opera next year. The title of this article means "Hitting with sensitivity" :) . ............................................................................................................................................. Memukul Dengan Kepekaan ............................................................................................................................................. Musik pada saat ini seringkali hanya dianggap sebagai "peran pembantu", dalam pertunjukan teater atau ilustrasi film. Dari keseluruhan itu, ada segmen di orkes / grup musik yang lebih dianggap sebagai "latar belakang" saja, yaitu bagian drums dan perkusi. Perkusi adalah segmen dari keseluruhan orkestrasi yang mungkin paling disalah-pahami oleh penonton awam. Fungsinya sering dianggap semata-mata sebagai "penentu/penyokong ritme" padahal sebetulnya (bisa) jauh lebih dari itu. Bahkan drummer dan pemain perkusi sering diejek sebagai "tukang pukul" di orkes. Kenyataannya, perkusi juga punya "warna", dan warna itu bisa menentukan suasana / ekspresi yang sangat sutil, baik ditengah keriuhan para penggebuknya maupun sewaktu dimainkan dengan sangat lembut (ya, ya, perkusi itu bisa berbunyi sangat lembut dan indah!). Dan di aspek ini lah saya salut dengan Harry Murti, seorang master-builder (pembuat instrumen) drum Indonesia yang telah diakui dunia. Untuk berbagai alat perkusi, kayu birch dan maple adalah yang biasanya dipakai sebagai bahan, dan Harry telah menunjukkan kayu-kayu dari pohon di Indonesia yang menawarkan warna dan resonansi yang berbeda: Jati, Sungkai, Makassar Ebony, Bengkirai, Mahogany, Cherry, selain bambu. ............................................................................................................................................. Harry Murti mulai bermain drum di sekolah dasar [1977], dan setelah sekitar bermain 5 tahun mulai melakukannya dengan serius - ia membentuk band, menjadi session player, dll, tapi sebetulnya ia selalu tertarik pada suara itu sendiri. Teknik bermain penting untuk belajar, tapi justru banyak musisi tidak sensitif terhadap suara instrumen itu. ............................................................................................................................................. Sebagai seseorang yang terobsesi, cinta Harry Murti terhadap musik perkusi mendorongnya untuk belajar bagaimana membuat drum itu sendiri. Sebagai seorang "master builder" otodidak, alat perkusi berkualitas tinggi yang diproduksinya menggunakan kayu Indonesia, yang membuatnya memiliki suara yang unik. Bersemangat untuk berbagi pengetahuan musik, Harry juga menciptakan sebuah sekolah musik khusus untuk perkusi, Jakarta Drum School. ............................................................................................................................................. Seperti kebanyakan musisi tahu, instrumen yang berkualitas, dalam hal ini drum dan alat perkusi lainnya itu mahal. Ketika kita pergi ke sebuah studio latihan, kita tidak bisa semata-mata mencatat atau mengingat untuk meniru apa yang kita dengar karena hal itu tidak bisa memproduksi nada yang kita cari -- itu semua harus dipraktekkan, dilatih, dan berkali-kali. Setelah meneliti, Harry menemukan bahwa kayu adalah aspek penentu yang besar dalam kualitas bunyinya, bukan hanya jenis kayunya, tapi juga bagaimana pengolahannya. Harry tentu saja ingin membuat instrumen yang bagus, tapi pada mulanya tidak punya uang bahkan kesabaran untuk menabung -- mengapa hanya orang dengan uang berlimpah yang dapat membeli alat yang bagus? Sejak itu, Harry memutar otak. ............................................................................................................................................. Harry mulai belajar drum itu sendiri melalui majalah dan berdiskusi dengan berbagai orang yang ia temui selama kunjungannya ke NAMM [National Association of Music Merchants, sebuah tradeshow musik]. Selama melalui kuliah aeronautika, kemudian kerja dan menikah, ia mulai bereksperimen membuat drum. Saking bergairahnya, ia mencapai titik di mana ia keluar dari pekerjaan untuk melanjutkan penelitian, ketika ia menyadari bahwa mengkonstruksi berbagai jenis drum adalah jalan hidupnya. Ia membeli drum dengan berbagai ukuran hanya untuk membongkar, menggergaji kayunya guna menganalisa secara mendetail. Ini tentu membuat orangtua dan istrinya resah, karena praktis Harry tidak dapat memasukkan uang untuk keluarganya. Tapi setelah kelihatan hasilnya, satu mukjizat terjadi, seperti yang diceritakan Harry kepada saya. Suatu hari, pada pukul 9 pagi, ibunya yang sakit memanggilnya. Ia akhirnya merestui apa yang dikerjakan anak lelakinya, serta memberinya modal membangun studio. 3 jam kemudian, di tengah hari, sang ibunda wafat. ............................................................................................................................................. Karena ia memiliki latar belakang bidang aeronautika yang dipelajarinya di perguruan tinggi, ia punya lumayan banyak pengetahuan teknis. Setelah ia memiliki pemahaman dasar tentang instrumen, setiap kali ada teman yang memerlukan memperbaiki drumnya, Harry menawarkan jasa untuk memperbaikinya. Ini memberinya kesempatan untuk bereksperimen lebih lanjut tentang aspek-aspek yang berbeda. ............................................................................................................................................. Selama dua tahun ia tidak bekerja, studio "Harry's Drum Craft" yang ia bangun bisa menghasilkan uang sehingga ia bisa tetap fokus pada minatnya. Ia sudah berhasil membuat beberapa drum yang dimainkan pada saat itu, walaupun tidak sampai pada kualitas yang ia inginkan. Sambil membangun studio latihan ia melihat bahwa salah satu pekerja konstruksi, Dali, memiliki keahlian yang besar - dia menaruh perhatian terhadap detail dan konsisten dengan pekerjaannya. Ketika studio selesai dibangun, Harry mendekatinya dan bertanya apakah ia mau membantunya menjadi asisten membuat drum. ............................................................................................................................................. Selama 2 atau 3 bulan kedepannya, Dali dibayarnya hanya untuk melihat, mengamati dan mempelajari cara Harry membuat drum, baru 6 bulan berikutnya ia mulai membuat drum bersama Harry sampai dia mampu membuat drum dengan bimbingan minimal. Setelah sekitar 2 tahun, mereka akhirnya mencapai titik di mana mereka berdua puas dengan produk akhir. ............................................................................................................................................. Kini Harry adalah salah satu kurator yang diseleksi oleh Global Project yang berbasis di Amerika Serikat. Para Master builder Dunia di pilih oleh kurator independent yg sudah qualified. Global project adalah project indie para Master builder Dunia yg ingin berbagi dgn drummer2 yg tidak mampu secara finansial untuk bisa tetap merasakan Drum/snare dgn kualitas high quality. ............................................................................................................................................. Saat ini ada 22 Master builder yg terpilih, dari Amerika Serikat, Inggris, Skotlandia, Australia dll., dan dari Asia sementara ini hanya dari Indonesia yaitu Harry's Drum Craft. Ini adalah pengakuan terhadap HDC sebagai Master Builder Drum di dunia. Disitu setiap Master Builder akan memberikan satu unit snarenya yg terbaik untuk dipamerkan dan dilelang atau langsung diberikan kepada calon2 drummer2 yg berbakat atau bisa membuktikan perjalanan karir yg panjang di dunia drum tetapi belum beruntung secara financial yg akhirnya tidak mampu untuk membeli drum yg bagus. Bulan Desember ini para master builders dan drummers penerima donasi akan berkumpul di New York City. ............................................................................................................................................. Ritme dan Warna dari Pemerkosaan ............................................................................................................................................. Seni datang dalam bentuk yang berbeda-beda. Dalam seni visual anda dapat melihat warna, bentuk, dan ukuran, tapi bagaimana anda menggambarkan suara? Hal ini tidak dapat dilihat, tidak dapat disentuh, tapi dapat dirasakan. Harry mendengarkan berbagai musik sejak ia masih sangat muda - dari Chick Corea, Saga, Genesis, Rush, sampai Casiopea - dan apa yang ia pelajari adalah bahwa drum-set yang berkarakter kuat dapat mewakili karakter dan ekspresi sang musikus. Suara drum yang baik mengilhami dan memotivasi kita untuk bermain, suaranya sesuai dengan musik yang kita cari untuk mengkomunikasikannya ke publik. Ingat, musik lahir dari satu aspek, yaitu ritme. Dia datang jauh sebelum yang lainnya: melodi, harmoni dll. Bahkan ritme lah yang membuat kita hidup, karena detak jantunglah yang mengiringi kita sampai mati. Ritme lah yang memotivasi kita untuk bergerak, dan melahirkan aspek-aspek musikal lainnya. ............................................................................................................................................. Kalau ada satu elemen yang mempertemukan Harry Murti dan saya, elemen itu adalah ... perkosaan. Nanti dulu, pembaca, Harry dan saya tidak memperkosa siapa-siapa kok. Tapi adegan pemerkosaan sebagai klimaks di opera saya CLARA itulah yang mendorong saya mengundang Harry dan rekan-rekannya dari Jakarta Drum School (JDS) untuk mengisi musik di adegan itu, selain beberapa adegan lainnya. CLARA menceritakan pemerkosaan terhadap wanita-wanita keturunan Cina di masa kerusuhan Mei 1998. Kerjasama itu terbukti sangat berhasil. CLARA terpilih menjadi Karya Seni Pertunjukan terbaik 2014 oleh majalah Tempo, dan selain hal itu berkat kekinclongan JDS, saya harus sebut juga bahwa penonton dan pengamat juga memberi pujian tinggi kepada para penyanyi utama Isyana Sarasvati yang memerankan Clara dan Widhawan Aryo Pradhita sebagai Polisi korup dengan nilai artistik yang sangat berkelas. ............................................................................................................................................. Harry memiliki keinginan yang sebetulnya sama dengan keinginan saya di dunia gamelan. Negara kita itu sebetulnya negara tetabuhan. Ada tifa, kenongan dll., dan kami bermimpi bahwa instrumen-instrumen tersebut dapat secara mudah berintegrasi ke grup-grup atau orkes yang "standar". Untuk itulah kita perlu standardisasi, dalam tonalitasnya dan dalam terminologi setiap instrumen, sehingga bisa praktis ditulis dalam partitur / notasi. Mungkin banyak yang masih belum tahu, bahwa kesulitan tertinggi mengintegrasi sebuah kelompok gamelan dengan orkes simfoni "barat", misalnya, bukanlah membuat musiknya supaya tidak menjadi "tambal sulam", tapi menyamakan tonalitasnya dengan instrumen barat yang sudah fix, A adalah 440 Hz. ............................................................................................................................................. Kesuksesan CLARA juga yang membuat Harry dan saya justru tidak puas. Berarti kita harus kolaborasi lagi! Februari tahun depan jika semua lancar, kami akan kerjasama lagi di opera saya yang terbaru, "Tumirah, Sang Mucikari". Seperti CLARA, ini juga saya adaptasi dari naskah hebat Seno Gumira Ajidarma. Kali ini pemeran utamanya adalah Artidewi, penyanyi jazz yang juga berteknik dasar klasik menjadi Tumirah (sebetulnya semua penyanyi --dan pemusik-- yang bagus itu saya percaya karena teknik dasarnya dari aliran klasik, sih), sedangkan para soprano terbaik Nusantara seperti Mariska Setiawan dan Evelyn Merrelita akan jadi "para pelacur"nya. Lagi-lagi akan ada adegan pemerkosaan, kali ini terhadap para pelacur, dan disitu JDS akan berperan besar lagi untuk membangun suasana yang sangar, buas sekaligus mencekam. Seperti juga di CLARA, mereka bukan hanya sibuk memukul drums dari berbagai macam ukuran dan jenis, tapi juga ikut acting. Dan jangan salah, acting sebagai pemerkosa itu tidak gampang, tapi lebih sulit lagi membuat musik yang bisa pas dengan koreografi pemerkosaan itu, untuk membuatnya tidak vulgar. Baik Tumirah maupun Clara adalah luapan kegelisahan saya terhadap isyu kemanusiaan yang masih begitu rendah dihargai oleh pemerintah Indonesia, terbukti dengan belum terselesaikannya pembunuhan Munir, kerusuhan 1998, bahkan kejadian 1965 dan masih banyak lagi. Apakah musik bisa mengubah dunia? Tidak usah dunia deh, negara saja cukup, satu negara saja. Atau, cukup beberapa politikus yang berhati keras dan berdarah dingin. Apa musik bisa menggetarkan nurani mereka? Mungkin tidak, tapi musik bisa memberi harapan. Saat kita ingin mengekspresikan sesuatu yang terlalu dalam untuk disampaikan dengan kata-kata, hanya musik yang dapat melakukannya. Dan ekspresi itu salah satunya adalah harapan yang tersimpan. Tanpa harapan, buat apa hidup ini?

domingo, 20 de diciembre de 2015

Is classical music really dying, and social media its murderer? (Article on Indonesia Tatler)

Towards the end of the year, I am posting my articles published in "traditional" medias in 2015. This one was published at indonesiatatler.com last November. As you might know, this magazine is now going online, and I am honoured to have been asked to write this essay for their premiere edition. They wanted me to write something about the state of classical music (what else??) and I wrote this. ............................................................................................................................................. Let's admit it. Just google "classical music is" and google will automatically continue with "dead" or "dying". Do it on any computer all around the world (as yours truly had done it) and those words appear before "the best", "cool", "boring" or other words. ............................................................................................................................................. We are living in an era where fame has nothing to do with artistic quality (therefore JB is more associated with Justin Bieber instead of Johann (Sebastian) Bach), and everybody has our 15-minutes of fame through the social media. Let's start with the numbers. I am not including the "crossover" musicians here, only the ones who work exclusively in classical music. ............................................................................................................................................. We could be sure that the most famous classical musician alive today is Lang Lang, the Chinese pianist. His twitter has 276K followers, oh so far from Bieber's 70M. He is followed by violinist Sarah Chang with 138K followers. Surprisingly, very popular figures in classical music have less than 100K, and since I don't have the complete data, I will just take the samples from my favorites such as soprano Renee Fleming (42K) and baritone Thomas Hampson (15K). Fan club twitter accounts do not have huge followers, but they never have anyway, since they totally miss the point of tweeting, which is that the fans could feel they could connect directly with the artists they highly adore. What I would like to pinpoint here is that classical musicians are not celebrities, and we should have a different perspective (and manners) of how we connect with our fans. What the classical music fans really need is our product, not the beauty of our physical appearance or our provocative tweets, so tweeting about what we eat for lunch does not affect their (un)willingness to buy our recordings or attend our concerts. ............................................................................................................................................. The main problem (apart from the others which I will elaborate in the next paragraphs) of the love - hate relationship between classical music and social media is that in classical music, there are only very few people who are doing our job professionally, but EVERYONE is an "expert" on it, and they share their "expertise" on social media. What we post on social media can make or break us. Not only us, but people around us, and to a bigger extent, the field that we represent. Let's go through them one by one. Until now, I still laugh at that question to be overwritten as our facebook status: "What's on your mind?" . Dear facebook, if I write what is on my mind, I would end up in jail everyday. ............................................................................................................................................. Youtube has its deceptive aspect to it. We musicians always want to be unbearably impeccable in our recordings. When a note is just slightly off, we would repeat the whole phrase and even edit it in the studio. We are so obsessed with precision, artistry and minute details. But on youtube, there are so many live performances recorded just with a smartphone. And most artists are ok with that. More than that, there are performances which are below the usual standard but nevertheless get so many views. Well, sometimes I don't feel ok, but through the years I have learned how to tolerate with it. The most epic of all this is even documented, and it's as easy as searching "Bolero trombone disaster" on youtube. And that was played by no less than Vienna Philharmonic conducted by the late genius, Lorin Maazel. For your information non-classical music lovers, Bolero is the most famous music by French composer Maurice Ravel, a 20-minute orchestral work consisting of the same beautifully haunting melody played and repeated 18 times by different instruments, so if one of them is (a bit) off, one would very much notice it. One fact should be added. It was a performance in Madrid, so perhaps one should consider the amount of Spanish alcohol consumed by the trombonist.... and as a musician living in Spain, it has become the no. 1 topic among musical late night drinks up to now . ............................................................................................................................................. Like everything else in life, social media is not good or bad. In fact, one US orchestra actually credits a social media campaign for saving them from complete shutdown. In the fall and winter of 2013, the Milwaukee Symphony Orchestra was in true danger of collapse. Their remarkable journey to solvency was chronicled in detail on the Milwaukee Symphony Musicians Facebook page. ............................................................................................................................................. On October 15, 2013, MSO posted a photo captioned: “Great art, great artists. Milwaukee is rich in both”. The following day, they posted a link to a disturbing article titled, “Milwaukee Symphony in crisis - again: The MSO is playing brilliantly but struggling financially; what to do?” with a photo of their chief conductor, Maestro Edo de Waart and a link to a recent article in the local Journal Sentinel. A quote from Edo de Waart that they tweeted was crucial for the fundraising to save this orchestra: "An orchestra is one of the organizations in a city that can serve as a catalyst for the rest of the arts". MSO themselves posted a few days later: "Love classical music? Right now is the time to show it. Save the MSO!" Those posts went viral across the US and generated sympathy from classical music lovers and the story had a happy ending. ............................................................................................................................................. Many classical musicians buy their followers, "likes" on facebook and views on youtube. While it looks like they have huge amount of followers, there is one big difference between their followers and those of a rockstar: when you buy followers, they are fake. In other words, they are machines, so the number of followers doesn't automatically translate itself into the number of people who buy the tickets of the concerts. You might look cool, having so many "fans" but the fact just stops there. Even in the best case scenario, social media marketing alone isn’t going to create legions of fans out of thin air. Especially because the majority of people that interact with their adored artists on the social Web are already familiar with those names. ............................................................................................................................................. What successful (classical) musicians share in their online presence is a lack of ego: they do not “magnify” themselves up – they come across as genuine and “normal”, and this is a crucial aspect of using social media. Social media should be used to promote our (artistic) product, not our ego. How do you know if your ego is not involved, and that you are objective enough? Well, if posting is like asking the world – do you “like” me? Am I funny enough, deep enough, smart enough, loveable enough, special enough? How much do you like my opinion about this and that? Even if we’re looking to people we love for these answers we’re entering dangerous territory – let alone if we constantly ask a cyberworld full of strangers if we’re worthy! Not everyone we run across wants to be a fan. We're ok with that. And fans are there for our artistic product, not for our ego. ............................................................................................................................................. Part of what makes social media work (or not) is more the "social" than the "media" of it. On the other side, social media isn't just publicity (although there are plenty of organizations and people that do nothing but); it's about making connections albeit superficially. When fans feel connected, they share that connection with all the people they know. But here starts the danger. ............................................................................................................................................. Social media is not what it appears to be. When you don't get the approval you desperately crave in real life, those "likes" will give it to you. How do you acquire them? By posting something controversial, sensational, provocative. But wait. Those things look great because people either love it or hate it. You will lose half of your audience -- and it will make you look cool and daring, which is ok in the pop world, but do we need haters in the classical music world, where sometimes our existence is like the "p" in "Pterodactyl" ? ............................................................................................................................................. And now, everyone can listen to you free of charge, because you yourself provide it in youtube or soundcloud. OK, young musicians need "exposure" and money comes later, they say. OK, so pianists want "exposure" of them playing a Beethoven sonata which is already "exposed", impeccably by thousands of pianists.Will they get that "exposure"? I seriously doubt it. If no one pays the concert, your video , or audio recording, in the future no one can ever live from the arts. I know no supermarket that give rice and bread in exchange of "exposure". Be not deceived , those who believe that doing so will generate a future benefit is entering a death trap. Believing that your facebook post generates thousands of likes is a success only satisfies a digital vanity. Approvals on social media is as big a trap as money. Nobody needs money, what we in fact need is what money can buy. Facebook "likes" and retweets, no matter how many you have them, means nothing if you can't do anything with them. It is more of a means to an end rather than an end in itself. ............................................................................................................................................. Everyone has 3 lives: the public, the private and the secret ones. Don't let the social media erase the lines that separated those three lives. When you let it happen, then you have pushed the self-destruction button. And not only you will be destroyed, but the whole ship that travels with you.

martes, 8 de diciembre de 2015

Criticizing Critics

There was a happy surprise last Sunday. I was in Bandung, and while having breakfast at the hotel I opened the Sunday KOMPAS Newspaper, and there it was, a quarter of a page review of my latest CD, "A Virtuosic Christmas". It wouldn't be "happy" if the review weren't praising it as a fresh new look on some Christmas tunes, and a well written one too. And it wouldn't be a "surprise" if I were expecting reviews on it, since we didn't send it to any media and asking them to write about it. Frans Sartono, the critic (I prefer to say the writer of the article; I never think of this good soul as a critic. He writes about music, that's his profession), BOUGHT some CDs for Christmas presents (and apparently for his own listening pleasure). He didn't ask for a free one to be reviewed. And his article is quite objective and ... well, it's an art of writing in itself. It is meant to just analyze the two main numbers of the CD, Fantasies on "Silent Night" and "Adeste Fideles" and gives a concise description of the other works. He wrote it in a straightforward and simple language, which is more difficult than writing in a "complex" and "sophisticated-ish" manner. It doesn't judge. As Albert Einstein said, "If you can't explain it to a six year old, you don't understand it yourself." ............................................................................................................................................. Now, there are "critics" who now see the opportunity to "make or break" an artist (oh really? Get real, n get a life, dude). Not only that they see a financial (read: opportunity for bribery and corruption, let alone sexual abuses) chance in it, more than everything, they see the opportunity to get power to control, even in politics (a pathetic one, I must say, but yeah). ............................................................................................................................................. Do we need (music) critics? The answer is simple : we don't. Reason: what's the use of them? If you can answer this, then ok, I will change my mind. I know, I know, they are here to stay, just like criminals, corruptors, architects, doctors, prostitutes, and us artists. But even prostitutes are needed by many people, as I will prove in my next opera, Tumirah, Sang Mucikari. And they have compassion, love, and most importantly, they WORK. They might gossip around, bitching around with their colleagues about the size of their client's penises, but they do it AFTER WORK. ............................................................................................................................................. Now another question : do we need people to criticize us? Yes we do. We always need other people's opinion, although most of the time what we need is an acknowledgement that what we are doing is good. But yeah, we need our parents when we were small to tell us what is wrong and what is right, and when we get older we need friends, colleagues and so on. But they don't have to tell the world about what we did wrong, and so "don't be friends -- or fans -- of this guy. He's awful". Coz the sentence "he's awful" automatically would indirectly continue ".. and I'm awesome". Why? Coz I can pinpoint what he did wrong. ............................................................................................................................................. The worst thing about critics is that they think they represent the opinion of the general public. Well, they try to, but unfortunately they don't. I mean, I don't see myself as an asshole so they could represent me. They should not say "we", they should say "I". And in the case of last Sunday, it was KOMPAS who showed their professionalism. I must tell you, KOMPAS is big, highly respected newspaper in Indonesia . Now if you work in an insignificant fake online media, or even just bitch around in your facebook status or blog, it's the most pathetic thing a loser can do. OK ok, my dear Mr. Critic, you can criticize me whatever you like and I would go on with my life and career, but criticizing a young musician for his/her first concert? Why do someone want to do that? The only answer I can think of is because the "critic" just wanna be like him/her on stage. If you can't do what he does, break him so he can do what you do: criticize, and criticize only. You can't go up to his level, then bring him down to your level. Only then you can be equal. Only then you can be happy. And if you wanna be a bitc .. I mean critic, don't ask for free CDs, or free tickets to a concert. ............................................................................................................................................. I myself prefer to work and BE criticized than to criticize and not do the work.