viernes, 1 de enero de 2016
Second part of my article for SARASVATI Magazine (December)
Happy new year! First entry on the first day of 2016. Here is the second part of my article commissioned by SARASVATI art magazine, published in December. But there is an extra, here. After submitting my article, the editor asked me if I could substitute one of the items for the topic "Is it true that classical music is only for intellectuals?". So I replaced one point for this subject. And here, you have that item PLUS the original. That item is placed in the end of this article. .............................................................................................................................................
(sambungan dari edisi November) .............................................................................................................................................
Terima kasih atas banyaknya respon dari tulisan saya bulan lalu. Memang banyak mitos yang "diciptakan", sebetulnya murni hanya untuk marketing saja, seperti misalnya pentingnya seorang dirigen, sehingga dirigen dapat meminta gaji yang super tinggi. Untuk menegaskan lagi apa yang telah saya tulis, seorang dirigen memang sangat overestimated. Masalahnya, gaji yang ia dapatkan di Eropah itu berasal dari subsidi pemerintah. Ia "membuang" uang rakyat yang kebanyakan tidak menikmati hasil kerjanya, lain dengan gaji seorang aktor Hollywood yang berbanding dengan jumlah uang yang ia masukkan dari penontonnya yang membayar dengan sukarela kemudian menguntungkan produser filmnya.
Berikut ini mitos-mitos lain di dunia musik yang misterius ini. .............................................................................................................................................
6. Namanya juga Musik Sastra, musik yang tertulis. Jadi setiap kali dibunyikan, pasti bunyinya sama. .............................................................................................................................................
Notasi musik sama sekali tidak memadai untuk mengekspresikan cinta, kesedihan atau emosi lainnya yang sangat dalam. Padahal musik itu justru bisa mengekspresikan hal-hal yang terlalu kompleks untuk bisa diekspresikan dengan kata. Oleh karena itu, partitur yang ditulis hanya mengisyaratkan bagaimana komposisi harus dimainkan dengan meletakkan not-notnya, perkiraan tempo (kecepatan) dan gambaran umum tentang perasaan di balik itu antara lain intensitas keras/lembutnya. Dari mana informasi tambahan didapatkan? Dari pemahaman terhadap musik itu: pengertian latar belakang penciptaannya serta menempatkan diri menjadi komponis karya tersebut. Memang banyak musisi klasik berlatih ribuan jam untuk mendapatkan konsistensi dan kesempurnaan, dan itu ada efek negatifnya: spontanitas dan kesegaran ide menjadi hilang, padahal itu elemen yang sangat penting dalam "live performance". Ini yang membuat mitos ini menjadi populer. Musik J.S. Bach bisa bertahan melawan ujian waktu lebih dari 300 tahun karena ia memberi peluang untuk interpretasi yang berbeda, yang membuatnya berkembang. Walaupun inisialnya sama, musiknya beda dengan Justin Bieber, dimana musik itu tergantung dari eksistensi packs di perutnya dan bukan kualitas, kedalaman dan kemungkinan auralnya untuk bisa diobservasi dari berbagai sudut. .............................................................................................................................................
7. Seorang performer itu bukan guru yg baik, begitu pula sebaliknya, orang jadi guru itu karena performance-nya jelek. .............................................................................................................................................
Wah, ini sama sekali tidak relevan. Satu hal yang harus selalu diingat adalah, bahwa apa yang sudah bagus dimainkan di ruang kelas itu bisa berbalik 180 derajat ketika dimainkan di panggung. Banyak sekali hal terkait: (tidak adanya) komunikasi dengan penonton, demam panggung, akustik ruangan, bahkan dalam kasus para pianis, jenis piano yang berbeda. Seorang guru yang tidak mengerti problematika menghadapi penonton, seberapapun tinggi pengetahuan teknisnya, tidak akan bisa mencetak murid yang handal, karena pada akhirnya seorang musikus itu dinilai reputasinya di depan penonton, bukan sendiri di ruangan. .............................................................................................................................................
8. Musik klasik itu buat pengantar tidur. .............................................................................................................................................
Ya memang, kalau anda mengacu ke Moonlight Sonata-nya Beethoven. Tapi, coba dengar Simfoni no. 5-nya komponis Jerman itu, Hungarian Rhapsody-nya Franz Liszt (yang no. 2-nya pernah dijadikan kartun Tom & Jerry), atau nomor-nomor Rapsodia Nusantara saya, bahkan Romeo & Juliet-nya Prokofiev yang kesannya lagu cinta, padahal berisik minta ampun. Saya jamin anda susah tidur! .............................................................................................................................................
9. Virtuositas itu adalah "pamer" .............................................................................................................................................
Karena tingkat kesulitan teknik permainan dalam musik sastra sering sampai taraf "wow", seringkali "pamer" adalah tujuan utama para musikus (hal ini yang membedakan antara yang amatir dengan yang "pro"), bahkan hal itu memang diinginkan oleh satu segmen publik. Di antara para orangtua, mereka misalnya ingin pamer bahwa anaknya bisa main semua instrumen. Kadang-kadang mereka ingin anak mereka tampil sebanyak-banyaknya. "Bisa" main semua instrumen itu tidak ada gunanya pada waktu sebuah pagelaran. Penonton butuh satu pagelaran utuh, atau suatu konser butuh pemain yang main 1 instrumen dengan baik, bukan "kutu loncat". Penonton ingin terinspirasi atau tersentuh permainan/nyanyian yang ekspresif, bukan keahlian (yang notabene setengah-setengah) pindah instrumen dari satu ke lainnya. Bahkan Mozart pun hanya bisa menguasai penuh 2 instrumen, yaitu piano dan biola. Para pemusik profesional itu sering disalahpahami "pamer" karena diminta oleh manajernya, tujuannya hanya untuk marketing yang fokus ke produk seni itu. .............................................................................................................................................
PRODUK. Itu yang diakui dari seniman apapun. Seorang komponis harus menulis musik, pelukis ya melukis, karena cara itu yang meningkatkan kualitas produknya. Kita tidak dinilai dari status facebook, tweets atau nama yang besar bahkan selfies kita yang secara periodik muncul di instagram. Bahkan senyinyir apapun seorang "seniman" mengkritik seniman lainnya, akhirnya pembaca akan membandingkan produk kedua orang tsb. Prinsip seorang seniman sejati adalah "Saya yang menulis/melukis/memahatnya, Tuhan yang menginspirasinya, orang lain yang mengomentarinya". Kalau sekedar pamer, itu malah bisa "salah pamer" karena target marketingnya kadang bukan yang dipamerkan tersebut. Seorang pianis yang konser "semua karya Tchaikovsky" itu mungkin dihargai, tapi tidak diminati karena yang penting itu bukan "seberapa banyak karya Tchaikovsky yang dia bisa mainkan". Ini bedanya seniman dan selebritas. Seorang selebritas tidak perlu produk. Disini tentu aspek visual berperan besar, yang membuat tingkat "keindahan visual" fisik sang pemain banyak berpengaruh. Ia bisa nge-tweet "siang ini makan apa yaaa" dan kemudian di retweet 1000x, karena followers-nya tertarik dengan dia , dan bukan dengan produknya. Jika seorang pemenang Nobel sastra nge-tweet yang sama, followers-nya akan berpikir "so what?" karena yang dibutuhkan penggemarnya adalah karyanya, bukan lifestyle atau private life-nya. .............................................................................................................................................
10. Nah, untuk penutup, saya ingin menyatakan 1 mitos yang memang benar: kutukan Simfoni ke 9. .............................................................................................................................................
Percaya atau tidak, sejak Beethoven wafat th. 1827, hampir semua komponis terkemuka tidak ada yang bisa menulis lebih dari 9 simfoni. Schubert, Bruckner, Dvorak (dengan simfoni ke-9nya yg terkenal "From The New World") wafat setelah menyelesaikan simfoni ke-9 mereka. Gustav Mahler mengobservasi kasus 4 komponis ini, sehinggal setelah simfoni ke-8 nya ia menulis karya "Das Lied von der Erde" (Nyanyian Bumi) yang sebetulnya adalah sebuah simfoni. Setelah ia "selamat", ia berpikir bahwa ia akan bisa mencipta simfoni yang banyak setelah itu. Simfoninya ke-9 pun dia tulis, dan saat ia memulai simfoni ke-10 ... anda bisa tebak apa yang terjadi. Itu di tahun 1911. Setelah itu, "kutukan" ini masih terus berjalan dan menjalar ke seluruh dunia. "Korbannya" a.l. Vaughan Williams (Inggris, wafat 1958), Jean Sibelius (Finlandia, 1957. Simfoni no.1 nya bukan memakai judul "simfoni" tapi "Kullervo" -- ia masih sangat muda sehingga kurang percaya diri untuk mencipta sebuah simfoni--, sehingga ia meninggal saat menulis simfoni no. 8 nya), Roger Sessions (Amerika, 1985). Mahler sendiri menganggap bahwa "sang pengutuk" adalah Beethoven, karena sebelumnya di abad 18 Haydn, Mozart dll mencipta puluhan simfoni.
Mitos ini saya dengar pertama kali saat saya bekerja dengan komponis Rusia, Alfred Schnittke. Waktu itu tahun 1992, saya baru berumur 24, dan saya tanya, "apa yang sedang anda kerjakan sekarang?". Jawabannya: "Saya sedang menulis simfoni ke-6, jadi semoga saya masih bisa bikin 3 lagi". Karena tidak mengerti kenapa, saya bertanya dan disaat itu ia menjelaskan soal ini. Bertahun-tahun kemudian, saya tidak kontak Schnittke (saat itu belum ada internet apalagi facebook!), sampai 1998 saya mendengar tentang wafatnya. Saya kemudian telpon manajernya, dan sekalian saya bertanya, "waktu beliau wafat, sedang mengerjakan apa?" Jawab manajernya: "Simfoni ke-9". ............................................................................................................................................. And here is the new item, substituting no. 8: .............................................................................................................................................
8. Musik sastra hanya untuk orang "intelek". .............................................................................................................................................
Ini adalah hasil pengajaran dan marketing yang salah dari para musikus sendiri dan "snobs" yang jadinya membuat penikmat musik ini menjadi sangat "segmented". Mereka membanggakan betapa sulitnya memainkan (atau inteleknya: menginterpretasi) musik. Mereka cerita berapa tahun mereka butuh melatih dan mempelajarinya, supaya anda berpikir, "oh wow, karena butuh begitu lama, saya harus menyukainya (inteleknya: mengapresiasi)!" Sekarang ketika anda menonton konser, anda jadi fokus ke jari-jari mereka dan (harus) kagum dengan kecepatan bergeraknya, progresi akordnya, latar belakang musiknya dst. dst. Anda lupa keindahan musiknya, hanya mencari aspek teknisnya saja. Pendeknya: lupa untuk duduk dan menikmati! Saya sih tidak mengerti, kenapa banyak kolega saya tidak puas jika publik bisa "hanya" menikmati saja tanpa "mengerti". Mereka bahkan demen banget berceramah menganalisa musik yang akan dimainkan secara bertele-tele. .............................................................................................................................................
Musik itu indah dan kami para komponis tugasnya adalah menyusun nafas kehidupan bahkan proses biokimia manusia ke kertas partitur. Musik harus bisa mengungkapkan perasaan yang terdalam dari hati kita. Pendengar tak perlu memiliki leksikon dan penguasaan retorika yang kaya untuk mendiskusikan dan menelaah sebuah karya musik, buat saya pribadi sih cukup jika anda bisa mendengarkannya dan bilang, "uuuh."