domingo, 2 de marzo de 2014
My article "Piano Competition : Quo Vadis?" at KOMPAS March 2 (in Indonesian)
Yesterday, one of Indonesia's most popular newspaper KOMPAS published my article, and I'm posting it here. It is in Indonesian, so if you wanna read it in your own language, please use google translate. Not that it's accurate, but it gives you an idea of what it is :) . ..............................................................................................................................................
Kompetisi Piano, Quo Vadis ? ..............................................................................................................................................
Mulai banyak kompetisi piano yang diadakan di tanah air, menyusul iklim musik sastra (istilah yg saya rasa lebih tepat daripada "musik klasik") yang sangat hangat dan aktif saat ini. Tak dapat dihindari pergerakannya ke arah positif dan negatif. Pendidikan musik pada umumnya di usia yang sangat muda (dibawah 10 tahun) dalam artian membaca not balok dan memainkan instrumen (bukan hanya piano) memang bukan bertujuan utama untuk membuat anak-anak itu menjadi musikus di kemudian harinya, tapi lebih ke pengaktifan otak yang lebih intuitif dan kreatif, sehingga mereka akan berkembang sebagai individu yang lebih peka, bukan hanya empatis, tapi juga dalam melaksanakan kualitas pekerjaan mereka yang sering tidak berhubungan sama sekali dengan seni. Dari pendidikan tersebut, sering secara tidak sengaja ditemukan bakat-bakat musik yang kadang luar biasa yang diharapkan dapat menjadi musikus handal dikemudian harinya, di mana modal bakat saja tentu tidak cukup untuk itu. ..............................................................................................................................................
Kompetisi piano adalah salah satu wadah dimana mereka dapat menantang kualitas dirinya sendiri. Dua kata terakhir itu yang perlu diingat : dirinya sendiri. Pada dasarnya kompetisi seni apapun tidak dapat disamakan dengan kompetisi olahraga, dimana sang kompetitor memiliki "lawan" atau "rival" karena bagaimanapun subyektivitas para juri ikut memegang peran. Yang bermain musik Tschaikovsky dengan tempo lebih cepat belum tentu menang, tidak seperti di kolam renang. Yang penekanan tuts pianonya paling kuat juga belum tentu menang karena ini bukan olahraga gulat. Bahkan yang meleset memencet tuts piano pun belum tentu terkurangi nilainya, sedangkan di olahraga panah, jika anak panah tidak tepat sasaran nilainya akan berkurang. Oleh karena itu, di ajang seperti ini sang peserta diharapkan berkompetisi dengan kualitasnya sendiri, dengan perbedaan antara apa yang diharapkannya sebelum naik panggung dan kenyataan yang terjadi di panggung , seberapa besar aspirasi artistiknya bisa direalisasikan di depan penonton dan juri. ..............................................................................................................................................
Jadi, apakah tidak ada standar atau kriteria dalam penilaian juri? Tentu saja ada, hanya saja semua kriteria tersebut berhenti pada tahap teknik permainan serta pengetahuan akademik. Dan kriteria-kriteria tersebut sudah 70-80% terpenuhi oleh teknik permainan yang makin membaik oleh para pianis muda Indonesia saat ini. Setelah semua kriteria ini terpenuhi, saatnya "selera" memegang peranan. Masalahnya mulai timbul jika kompetisi dijadikan ajang "rebutan murid" oleh para guru musik yang nota bene menjadi juri di kompetisi tersebut. Dan "selera" ini bisa saja diinterpretasi dengan subyektivitas yang memang tidak bisa dihindari, bukan hanya dari kualitas permainan, tapi menjalar jadinya ke "yang ini murid saya, jadi harus saya kasih nilai lebih tinggi daripada yang lain". Bagaimanapun, nama guru akan terangkat jika muridnya memenangkan sebuah kompetisi, apalagi yang bergengsi. Masalah lain, mungkin yang paling penting tapi sering dilupakan adalah jika juri adalah seorang pendidik tapi tidak merangkap seorang "performer" (dalam artian sebenarnya, bukan hanya bermain di depan murid-muridnya atau lingkungan sekolahnya), karena ia akan melupakan satu hal yang sederhana tapi penting : penonton datang ke konser untuk "disentuh hati"nya, bukan untuk mengontrol dengan stopwatch seberapa cepat sang pianis memainkan Chopin Etude serta menghitung jumlah tuts piano yang salah pencet. Kecepatan tempo, tingkat akurasi permainan yang tinggi dll. TIDAK menjamin tingginya nilai artistik sebuah permainan piano, seperti yang saya selalu tekankan (dan sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia) : Music serves to express, not to impress. ..............................................................................................................................................
Indonesia sebagai salah satu pengguna terbesar media sosial di dunia , musik sastra-nya juga terwakili dengan begitu banyak pengikut Facebook dan twitter. Banyak sumber informasi yang di tulis oleh para amatir, dan beberapa dari mereka memberikan informasi (bukan hanya opini) yang kurang tepat. Dalam kasus ini hanya waktu lah yang dapat menyaring kualitas yang baik dari forum dan media tersebut yang saat ini tumbuh lebih dalam kuantitas daripada kualitas. ..............................................................................................................................................
Penulis akui bahwa kompetisi bukanlah cara terbaik untuk membangun atmosfir kesenian , tetapi sampai sekarang , inilah satu-satunya cara untuk seorang musikus muda memulai karir di musik sastra , di mana kompetisi / audisi yang disaksikan publik umum menjadi sebuah platform di mana bakat seseorang ditemukan dan diakui . Jika ada metode yang lebih baik daripada audisi / kompetisi yang "fair", metode itu harus bisa menjawab dua pertanyaan ini :
1. Bagaimana seorang produser / penyelenggara acara / komponis mendapatkan dan menemukan musikus yang berkualitas, dan sebaliknya :
2. Bagaimana musikus yang berkualitas tapi tidak memiliki koneksi, uang yang cukup dan fasilitas lain mendapatkan kesempatan, atau "exposure" untuk bisa menunjukkan karyanya?
Asumsi bahwa kompetisi / audisi itu seperti lagunya ABBA : "The winner takes it all, the loser has to fall" itu sama sekali tidak benar. Justru berdasarkan pengalaman saya mengadakan kompetisi piano internasional Ananda Sukarlan Award sejak 2008, terdapat fakta yang malah menguntungkan yang "kalah" seperti ini :
..............................................................................................................................................
1. Th 2008, Inge Buniardi memenangkan juara I, dan Edith Widayani pemenang II. Edisi berikutnya (2010), Edith Widayani menjadi pemenang pertama. Kini dua-duanya sedang melanjutkan kuliah di University of Kansas (Inge dalam program S3), dan Eastman School of Music (Edith program S2), dua perguruan tinggi yang "top" di AS, dan telah memulai karir sebagai pianis ke mancanegara.
2. Th. 2008, Randy Ryan memenangkan juara III, saat itu usianya baru 15 th. Ia ikut kompetisi lagi th. 2012, dan ia memenangkan juara I. Kini ia kuliah S1 di Juilliard School of Music, New York. Dua fakta ini tidak di"sengaja" terjadi, karena dewan juri setiap edisi berbeda, jadi mereka tidak mengenal siapa yang telah berpartisipasi di edisi sebelumnya. ..............................................................................................................................................
Ketiga pianis yg saya sebut ini kini mendapatkan beasiswa dari universitasnya untuk kuliahnya. Kesimpulan yang dapat diambil adalah, sukses sering tidak tercapai langsung dalam satu kompetisi, "kegagalan" bukan berarti kiamatnya dunia tetapi memperkaya pengalaman. Itupun saya alami di masa-masa muda saya. ..............................................................................................................................................
Dunia seni yang sangat menjunjung tinggi kualitas produknya tidak dapat lagi berkembang melalui nepotisme atau persahabatan semata. Betapapun cintanya anda terhadap istri atau anak anda (dan seringkali kasusnya merembet ke keponakan, sepupu bahkan tetangga), belum tentu ia dapat menjamin kualitas pertunjukan yang prima, betapapun besarnya usahanya dan niat baiknya selain untuk memberikan yang terbaik, juga untuk membahagiakan anda. Mengambil bagian dalam kompetisi dan bagaimana mempersiapkan diri untuk itu sekarang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan musik , dan manfaatnya sekarang bahkan lebih bermakna , mengingat bahwa ada begitu banyak bisnis sekolah musik yang menawarkan pendidikan "instan", memenuhi banyak harapan orang tua kepada anak-anak mereka untuk menjadi "jenius " dalam bermain piano dalam waktu beberapa bulan. Kualitas seorang musisi hanya dapat dibuktikan dengan konser "live" atau rekamannya. Ekspresi yang ingin disampaikannya harus cukup dalam sehingga tidak dapat disampaikan dengan kata-kata, ucapan atau tulisan. Hanya melalui sebuah kompetisi atau audisi lah seseorang dapat menyajikan kualitasnya baik kepada masyarakat luas ataupun ke para ahli yang bertindak sebagai juri. Hanya melalui kualitas tinggi para musisi lah musik sastra kita akan tumbuh dan berkembang, dan dalam jangka panjang itu membuat musik sastra diterima , "dipahami" dan akhirnya dicintai. ..............................................................................................................................................
Ananda Sukarlan, pianis & komponis, ketua dewan juri Ananda Sukarlan Award International Piano Competition. @anandasukarlan . http://anandasukarlanaward.wordpress.com
Etiquetas:
Ananda Sukarlan Award,
competition,
Edith Widayani,
Inge Buniardi,
piano music,
Randy Ryan