jueves, 5 de octubre de 2017

An Old Interview about "Inspiration" with seni.co.id (in Indonesian)

"The more things change, the more they stay the same" (plus ça change, plus c'est la même chose). Everytime facebook pops up a memory of an interview with me in any media and I re-read it, I realize how true Jean-Baptiste Alphonse Karr was . So many new works have been written down since then, but I am still the same composer --and human. So, here is one from March 2016 at the online art website, seni.co.id . ............................................................................................................................................ Tolong sampaikan konsep dalam berkarya Anda secara khusus pada kami? ............................................................................................................................................ Ini tentu tergantung karya apa. Lagu yang panjangnya tiga menit kadang-kadang tidak perlu konsep awal. Misalnya saya sedang baca sebuah puisi yang bikin musiknya “bunyi” di kepala saya, ya saya langsung tulis. Tapi kalau opera yang panjangnya 1 jam lebih, ya harus terstruktur dari awal. Dalam kasus ini saya kerja seperti arsitek, semua saya rancang dulu: strukturnya, progresi harmoninya, kontras dan karakter tiap section dll, baru kemudian saya menulis not-notnya. Jadi kalau saya “macet” di satu section, saya bisa pindah ke section lain untuk nantinya balik lagi ke section yang “macet” itu karena saya bisa pegangan ke rancangan awal. ............................................................................................................................................ Kalau konsep secara menyeluruh, saya menganggap bahwa berkarya itu sebuah bentuk komunikasi tapi yang lebih abstrak (atau lebih keren: lebih dalam), karena apa yang ingin saya komunikasikan itu tidak bisa dilakukan lewat kata-kata. Tapi disinilah “jebakan” yang banyak seniman jatuh ke dalamnya: berkomunikasi itu berarti menetapkan karakter dan jati diri, bukan “menjadi orang lain”. Oleh karena itu saya sadar, seringkali musik saya tidak bisa langsung dimengerti, atau bahkan tidak disukai oleh beberapa orang. Sebab, saya ingin berkata lewat musik saya, “ya ini lah saya”. Musik saya tidak bertujuan untuk menghibur, atau memberikan apa yang dibutuhkan pendengar saya, tapi justru menyampaikan apa yang ada di hati saya lebih jujur daripada kalau dengan kata-kata, karena saya di sini tidak perlu “takut menyakiti hati”, “kata-katanya harus dihaluskan” atau bahkan “jaim”. Lewat musik, saya bisa bebas karena sama sekali tidak perlu jaim. ............................................................................................................................................ Dalam berproses setiap karya ada perenungan atau datangnya inspirasi seperti apa? ............................................................................................................................................ Lagi-lagi tergantung karya apa. Rescuing Ariadne untuk flute dan piano misalnya, panjangnya sekitar 7 menit, terinspirasi lukisan Titian di National Gallery di London, “Bacchus & Ariadne”. Sketch-nya saya buat di depan lukisan tersebut di museum itu sekitar setengah jam, tapi kemudian proses penulisan dan penguraian details itu makan waktu berminggu-minggu, diselangi oleh karya-karya dan proyek lain. Untung sekarang ada internet, jadi walaupun tidak diperbolehkan memotret lukisan itu di Gallery, saya bisa lihat fotonya di google kalau butuh. Walaupun kalau dari google itu saya biasanya sulit untuk “kesetrum”. Melihat lukisan aslinya itu yang bikin “kesetrum”nya kuat. Makanya walaupun saya suka habis berjam-jam di Google Art Project, kalau saya “tergelitik” dengan satu lukisan, biasanya saya datangi itu galerinya, karena saya butuh karya asli dengan segala dimensinya untuk bisa “menekan tombol PLAY” di kepala saya. ............................................................................................................................................ Kemudian ada ratusan karya saya yang terinspirasi puisi (kalau ini bisa saja saya dapat dan baca di Google), nah itu bisa tercipta dalam hitungan menit, atau kalau sangat kompleks seperti lagu terakhir saya “IRAS” berdasarkan puisi Adimas Immanuel, atau “La Ronde” dari puisi Sitor Situmorang, ya sekitar 3 hari. Lagi-lagi, karena ini panjang, butuh konsep awal yang jelas. He he .. iya, saya memang rada “control freak”. Saya kagum sama para pemain jazz misalnya, yang bisa sangat spontan. Saya pingin bisa seperti itu… ............................................................................................................................................ Anda sudah banyak karya-karya yang sudah dibuat, apakah sudah merasa puas atau belum? ............................................................................................................................................ Wah, sangat tidak. Kalau saya sudah puas, saya tidak akan menulis lagi dong! Menulis itu antara lain karena saya ingin membuat karya yang lebih baik daripada karya-karya sebelumnya. Makanya saya jarang mendengarkan rekaman karya-karya saya. Kalau saya dengar, itu terpaksa, karena: Pertama, Sedang dalam proses editing rekaman. Kedua, Saya ingin mendeteksi kekurangan saya apa di sana, dengan harapan semoga di karya mendatang saya bisa memperbaikinya. Ketiga, saya diundang oleh musikus yang main musik saya. Nah yang terakhir ini saya suka, karena dari tiap musikus saya belajar sesuatu. Setiap musikus yang baik itu justru melihat sisi-sisi yg lain dari karya saya, yang saya sendiri tidak menyadarinya. Itu karena proses musikus menginterpretasi karya adalah melihatnya dari berbagai sisi dulu, sebelum mengerti secara keseluruhan, sedangkan seorang komponis memulai dari satu sudut pandang, biasanya tanpa melihat sudut-sudut pandang yang lain kami teruskan deh menulis karya itu sampai selesai. ............................................................................................................................................ Tapi ada beberapa hal yang rasa tidak puasnya sih agak tidak sehat, misalnya waktu saya bikin lagu pop (pertama dan satu-satunya yang pernah saya bikin), untuk Judika, “Indonesiaku”. Coba deh cek di youtube, itu mungkin lagu pop teraneh yang pernah anda dengar, hahaha …. nah itu ranah yang saya ingin selidiki, tapi benar-benar sangat asing masih buat saya. Makanya saya sedang bereksperimen habis-habisan di opera saya Tumirah yang sedang saya kerjakan buat bulan Mei ini. Saya ingin menekankan satu hal: karya saya yang cukup “populer” bukan berarti karya terbaik saya (menurut saya pribadi). ............................................................................................................................................ Soal kualitas saya sendiri, saya bukan orang yang paling bisa menilai. Karya yang lebih kompleks juga belum tentu lebih baik daripada karya yang simple, walaupun saya sendiri menganggap Chamber Symphony (yang diminta pak Habibie sebagai pengabadian cintanya terhadap Ainun) yang super njelimet dan panjangnya 20 menit itu lebih baik daripada, misalnya, “Sadness Becomes Her” untuk biola & piano yang cuma 6 menit. Tapi “Sadness” jauh lebih populer, mungkin juga karena itu lebih “direct”. Saya juga menulisnya langsung dari awal sampai akhir, pas ada kejadian yang membuat saya sangat sedih, dan saya tidak meng”edit” bunyi yang ada di kepala saya; itu semua saya tulis 100% apa yang saya dengar. Tentu karena durasinya lebih pendek, jadi lebih gampang dicerna juga oleh pendengar. Karya-karya Anda itu memiliki pola khas sastra dikolaborasi dalam musik dan tumbuh dalam imajinasi yang liar. Mohon dijelaskan? ............................................................................................................................................ Saya memang doyan membaca, dan sejak adanya internet, bahasa Indonesia saya jadi mengental kembali. Sebelum 2004, musik saya yang berdasarkan sastra itu hanya dari puisi berbahasa Inggris dan Spanyol, dari Whitman, Frost, Becquer, dll. Karena ada beberapa penyair yang menjadi “favorit” saya — artinya saya sering membuat musik dari puisi-puisi mereka, seperti Sapardi Djoko Damono, Eka Budianta, Nanang Suryadi, Adimas Immanuel, M. Aan Mansyur — saya jadi sadar bahwa untuk tiap penyair itu musik saya jadi ada “style”nya sendiri. ............................................................................................................................................ Yang berarti bahwa saya jadi “mengerti” bahasa mereka kalau saya sudah terjemahkan ke musik, dan musik saya terbentuk atau “terkontaminasi” oleh bahasa puitis mereka. Saya menemukan diri saya sendiri melalui karya seni mereka, gitu deh pendeknya. Saya (hampir) selalu menuliskan proses kreatif saya di blog saya,http://andystarblogger.blogspot.com bukan hanya untuk mereka yang butuh mengerti musik saya (terutama para mahasiswa yang membuat thesis atau desertasi dari musik saya) tapi juga buat semacam catatan untuk diri saya sendiri untuk memantau perkembangan saya. ............................................................................................................................................ Anda tentu memiliki inspirasi yang menjelma dalam berkarya, siapa tokoh inspirasi Anda? . ............................................................................................................................................ Banyak banget, dan bukan hanya “siapa” tapi juga “apa”. Dalam mengalih-wahanakan seni bidang lain, misalnya puisi atau naskah drama, bukan hanya karya literer tersebut yang menginspirasi tapi juga penyanyi yang akan menyanyikannya. Biasanya penyanyi lebih menginspirasi daripada musikus lain, karena karakter serta kelebihan & kekurangan suaranya. Instrumen para vokalis itu ya mereka sendiri: pita suaranya, tubuhnya, karakternya. Semua keterbatasan seorang musikus itu buat saya malah jadi sumber inspirasi, termasuk disabilitas fisik. Saya telah menulis banyak karya untuk piano 1 tangan saja, atau beberapa jari saja… itu melahirkan bentuk musik yang justru unik dan bunyinya tidak kurang daripada musik untuk pianis berjari sepuluh. Misalnya seorang pianis punya jari 15 pun tidak berarti musiknya akan lebih baik. Karya piano saya Lonely Child itu ditulis, selain tentang anak yang autis, juga untuk pianis dengan 1 jari (atau 1 stick) di tangan kanannya saja.