martes, 21 de junio de 2016

"Keindahan alam, keindahan musik kamar, keindahan berbagi" (article for Kompas Klass)

Last May, another article of mine was also published by KOMPAS. It was cut and heavily edited to fit the profile of the KOMPAS readers. The title of the published article was changed into 'Turisme, Ketika Musik Jadi "Panglima" ' . So, here I post my original article (pretty different in style than the published one!). ............................................................................................................................................. "Keindahan Alam, Keindahan Musik Kamar, Keindahan Berbagi" ............................................................................................................................................. oleh Ananda Sukarlan, pianis & komponis ............................................................................................................................................. Ketika penulis meramalkan booming-nya musik sastra terutama di dunia piano di Indonesia, penulis tidak menyangka bahwa hal ini terjadi sangat cepat. Setahun terakhir ini, entah ada hubungannya dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau tidak, ditandai dengan membludaknya musikus asing di Indonesia untuk mengajar dan berkonser, bukan hanya dari ASEAN tapi dari Eropa dan Amerika. ............................................................................................................................................. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang dan jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, termasuk karya seni. Apakah seniman dan karya kita sudah mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya? Banyak dari kita yang belum menyadari bahwa kompetisi semakin ketat, dan teamwork sangat dibutuhkan bukan hanya dari satu bidang, tapi antar bidang. ............................................................................................................................................. Arnuero adalah kota kecil bagian dari Taman Nasional Trasmiera, di tepi pantai utara Spanyol dengan penduduk sekitar 2000 orang. Keindahannya terletak terutama dari sungai Soane yang bermuara ke laut Atlantik. Di sana diadakan kompetisi musik yang selama 10 tahun berskala nasional, dan berkembang ke internasional 4 tahun terakhir. Kompetisi diadakan di dua tempat : konser pembukaannya di Gereja Asuncion dimana patung dan ukiran altarnya dianggap salah satu yang terbaik di Spanyol dari zaman Renaissance, serta di Casa de las Mareas (terjemahan harafiahnya: Gedung di atas ombak), sebuah gedung unik berkapasitas hanya sekitar 100 kursi yang berlantai --dan juga berdinding-- dari kaca di atas sungai Soano sehingga kita bisa melihat ikan-ikan di sungai di bawah telapak kaki ketika kita berada di dalam gedung itu. ............................................................................................................................................. Kenapa desa yang notabene tidak memiliki gedung konser yang cukup memadai ini menyelenggarakan sebuah kompetisi musik internasional? Tujuannya tidak lain adalah untuk memposisikannya di peta musik sastra seperti yang sejak 14 tahun yang lalu diinginkan Walikota (tepatnya Wali Desa) Arnuero. Fokus itu lebih spesifik lagi, yaitu format musik kamar (chamber music): grup musik terdiri dari 2-5 musikus. Diharapkan para penonton datang ke sana untuk menikmati musik DAN keindahan alamnya. Dengan kata lain: turisme melalui musik, sama halnya seperti Salzburg yang membuat kita ingat kepada kota kelahiran Mozart --dan setelah tahun 1965 melalui film The Sound of Music. Dan musik kamar tidak lagi berarti piano dan biola saja, tapi kombinasi "aneh" seperti trio flute, kwartet saxofon atau formasi peserta Indonesia (bahkan Asia) pertama yang mengikutinya, Duo Schoko yang terdiri dari gitaris Theduardo Prasetyo dan pemain biola Giovani Biga. ............................................................................................................................................. Dan Duo Schoko ini lah yang telah menggores sejarah di kompetisi yang kini paling terkemuka untuk musik kamar di Spanyol ini: mereka berhasil masuk babak Grand Final. Sayang sekali nilai yang mereka capai masih sedikit dibawah juara II, dan tidak ada predikat juara III di kompetisi ini. Meskipun demikian, Giovani Biga meraih penghargaan sebagai Instrumentalis Terbaik. Perlu dicatat, juara I dan II dimenangkan oleh formasi yang sangat "klasik" yaitu Trio Piano - Biola - Cello, dua-duanya dari Spanyol. Jika kita hanya membaca buku acara, Duo Schoko "kalah pamor" dengan formasi biola - gitarnya yang masih langka, "aneh" dan tentu saja kekayaan repertoire-nya yang masih sangat sedikit. Apalagi usia mereka yang masih sangat muda: masing-masing 20 tahun, dan masih tahun kedua di Konservatorium (setingkat Universitas) di Detmold, Jerman dan berawal sebagai sesama siswa Indonesia yang saling curhat soal kangen mie instan dan nasi Padang. Jadi, sebetulnya formasi mereka adalah "terpaksa" karena tidak ada siswa Indonesia lainnya. Tapi, mereka membuktikan bahwa "keterpaksaan" itu membuahkan orisinalitas -- dan akhirnya kualitas, bukan hanya "asal beda". ............................................................................................................................................. Musik kamar adalah alternatif lain dari bermusik, apalagi saat kompetisi piano di Indonesia semakin menjamur ke berbagai arah, baik negatif maupun positif. Indonesia mungkin negara dengan jumlah kompetisi piano terbanyak di dunia saat ini: setiap bulan, bahkan kadang setiap 2 minggu ada kompetisi sehingga jika seorang pianis muda (atau orangtuanya) tiba-tiba melihat jadwal kosong, ia bisa saja ikut sebuah kompetisi secara acak. Memang ini adalah situasi yang kelihatannya mengagumkan, beda dengan keadaan di Eropa misalnya, yang cuma ada 2-3 kompetisi setahun di tiap negara. Tapi, kompetisi di Indonesia itu masing-masing memiliki aturan sendiri yang sering tanpa berdasarkan nilai artistik dan/atau edukatif, dengan kriteria penilaian yang seringkali cukup "unik". Dengan banyaknya pianis "juara" dari berbagai kompetisi ini, apakah para juara ini masih punya nilai tambah untuk menarik penonton di dunia musik sastra? Alternatif yang tepat sekarang adalah grup musik kamar. ............................................................................................................................................. Selain itu, kenapa kompetisi di Indonesia hanya dilakukan di kota-kota besar? Dengan banyaknya lokasi yang indah di luar kota, kenapa itu tidak dimanfaatkan untuk menarik para peserta dari luar negeri juga? Selain berkompetisi, mereka juga menikmati keindahan alam Indonesia. ............................................................................................................................................. Dalam dunia seni pertunjukan, konsumen itu bukan raja. Konsumen itu teman, mitra atau rekan -- ingat, orang-orang yang minta-minta tiket gratis atau korting itu tidak termasuk kategori teman. Konsumen dan produsen adalah sederajat dan saling mengisi. Keinginan konsumen belum tentu harus dipenuhi untuk menjaga kualitas karya seni itu sendiri. Tapi, apakah ada cukup konsumen untuk menonton pianis yang notabene main Sonata-nya Beethoven yang itu-itu lagi, Ballades-nya Chopin yang itu-itu lagi? Dan jika sudah ada ribuan -- atau dalam kasus seperti di Cina, jutaan-- pianis yang dapat memainkannya dengan teknik dan presisi yang rapih, jika standar kelulusan perguruan tinggi musik bahkan memenangkan kompetisi sudah melewati titik kejenuhan, bagaimana sang konsumen memilih pemain ¨favorit¨nya? ............................................................................................................................................. Kita sekarang memiliki ribuan pianis, tapi berapa pemain flute? Cello? Apalagi yang lebih langka, seperti Horn? Dan apakah seorang pianis itu bisa berkarir secara eksklusif bermain solo? Jika kita "kalah" dengan para pemain dari luar, kita tidak bisa menyalahkan mereka. Banyak aspek dalam musik yang kita abaikan. Jurusan piano, biola dan vokal adalah "favorit" saat ini, tapi kenapa instrumen lain tidak? Dan setelah bisa bermain instrumen, kenapa kita tidak main bersama instrumentalis lain untuk menghasilkan musik yang indah dan berbeda? ............................................................................................................................................. Giovani Biga dan Theduardo Prasetyo tidak sendirian dalam mengukir prestasi dalam bidang musik kamar di luar negeri. Bahkan salah satu pianis muda terbaik kita, Edith Widayani pemenang Ananda Sukarlan Award 2010 yang terkenal dengan virtuositas permainan solonya ternyata juga berprestasi dengan trio-nya. Sejak kuliah S1 di Texas Christian University ia memang telah meraih penghargaan Judith Solomon Award untuk Chamber Music dan TCU Faculty & Friends Chamber Music Award. Kini Edith kini menjalani program Doktor Musik (S3) dan bersama teman-temannya di Auden Trio (Beiliang Zhu - cello dari Shanghai yang pemenang Bach competition di Leipzig dan Ji-yeon Lee - biola) sering mengadakan konser. ............................................................................................................................................. Kalau kita mengambil prestasi seorang non-pianis, mungkin pemain cello Christy Oscar yang saat ini kuliah di West Virginia University dapat merepresentasikannya. Bersama 3 teman kuliahnya yang juga pemain alat gesek mereka mendirikan Midas String Quartet; mereka telah memenangkan kompetisi regional MTNA (Music Teachers National Association) dan April nanti mengikuti babak final tingkat nasional yang diikuti semua juara regional di Amerika. Padahal Christy adalah pemain cello utama (principal) orkes universitasnya, yang menandakan bahwa ia juga gemilang sebagai pemain cello solois. ............................................................................................................................................. Kompetisi piano Ananda Sukarlan Award memang akan diadakan lagi bulan Juli ini. Walaupun telah melahirkan banyak pianis yang sekarang memulai karir internasional, tujuannya bukanlah menemukan SOLOIS terbaik, melainkan MUSIKUS terbaik. Jika seorang pianis memenangkan ASA, ia belumlah sempurna sebagai seorang musikus. Itu sebabnya penyelenggara sedang mempertimbangkan 1 babak tersendiri untuk bermain musik kamar di edisi tahun berikut, karena sampai sekarang belum ada kompetisi untuk musik kamar yang memang belum populer di Indonesia. Bermain solo membutuhkan teknik dan musikalitas yang tinggi, tapi bermain bersama instrumentalis / vokalis lain itu membutuhkan 2 hal tadi PLUS hal-hal lain, seperti ketajaman pendengaran untuk bersinkronisasi dengan pemain lainnya. Sebaik apapun seorang pemain, musikalitasnya tidak lengkap kalau dia tidak bisa bekerjasama di panggung, bermusik dalam satu nafas dengan keseimbangan dinamik dan ekspresi. Dibutuhkan tanggung jawab, disiplin, komunikasi serta respek terhadap pemain lain yang akhirnya membentuk karakter dan perilaku sang musikus, baik di dunia klasik maupun jazz, dimana setiap pemain punya andil yang kira-kira sama tanpa seseorang berhak "steal the show". ............................................................................................................................................. Bermain musik kamar adalah bersama membagi kebahagiaan bermusik. Jika kita membagi uang, kita akan kehilangan uang itu. Tapi jika kita berbagi musik, itu sama seperti berbagi kebahagiaan: bukannya jadi berkurang, tapi kita akan langsung mendapatkannya lagi berlipat ganda.