martes, 26 de junio de 2007

4 Sonet Sapardi Djoko Damono

I promised to put the newest sonnets of Sapardi Djoko Damono written for me (or rather for Andy the busker), so here they are . They were published in Kompas Minggu, June 10th, 2007.

Sonet, 1
: Andy, Pengamen

"Aku menyanyi untukmu," katamu. Aku diam,
mendengarkan gerimis yang berderai lalu
bagai benang terurai dari langit yang dalam.
Adakah kausaksikan aku mendengarkanmu?
Aku diam, mendengar dan tidak mendengar
suaramu. "Biar aku menyanyi, hanya untukmu,"
katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar
bagai tirai warna-warni, hanya untukku.
Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan
mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,
apakah yang kauinginkan dariku yang bertahan
agar tak ada sebutir pun dari mata menitis?
"Aku menyanyi untukmu, selalu," katamu.
Gila, kautusukkan juga senyap senar itu!


Sonet, 2
Aku tak lain sebutir telur
kubayangkan tergolek di sarang itu
ketika siang sudah luhur --
"Dan tak juga menetas," katamu.
Aku tak lain seonggok sarang
kubayangkan terbaring di awan biru
ketika hari menjelang petang --
"Dan tak ada burung hinggap," katamu.
Aku tak lain seekor burung
kubayangkan lepas dari ketinggian itu
ketika malam menjelma senandung --
"Menidurkanmu dalam telur," katamu.
"Kau akan mendengar dendang hening
merawatmu, tak lekang mendenting."

Sonet, 3
"Jangan lupa kirim pesan kalau kau tiba
dengan selamat di bandara," katamu.
Kudengar getar dari kota nun di sana,
terpisah oleh jalan-jalan berdebu
dan langit yang bagai rasa cemas.
Kata melenting di dinding-dinding
kabin, tak berhak lepas
dari kaca jendela yang tak lagi bening.
Awan yang di bawah bergumpal melata
tampaknya tak siap lagi menjadi lambang
cinta kita, "Apakah ia akan tetap ada
sehabis hujan?" Pesawat mendadak goyang
ketika kubayangkan matamu mendesah,
"Jangan lupa, di sini ada yang gelisah."

Sonet, 4
Hidup terasa benar-benar tak mau redup
ketika sudah kaudengar pesan:
suatu hari semua bunyi rapat tertutup.
"Penyanyi itu tuli," katamu pelan.
Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?
"Penyanyi itu buta?" tanyamu gemetar;
kita pun diam-diam mendengarkannya,
Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesan kaudengar: padamkan nyalanya!
Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.