I am writing this entry in Indonesian, since you will have to know (a bit of) Indonesian anyway if you wanna see my opera, "Ibu, yang anaknya diculik itu". But as google translator is getting more sophisticated nowadays, I kindly ask you to use that device if you wanna read this anyway (and am thankful for it).
Tanggal 16 & 17 April ini opera saya "Ibu, yang anaknya diculik itu" akan dipagelarkan lagi dengan soprano yang memperdanakannya 2 tahun yg lalu, Aning Katamsi yang dengan spektakulernya menggali segala macam emosi selama 40 menit durasinya. Sigmund Freud akan dengan antusias menganalisa keadaan Aning setelah dia selesai pagelaran!
Opera ini saya berani tulis setelah saya menonton operanya Francis Poulenc, "La Voix Humaine" yang juga ditulis hanya untuk 1 soprano saja. Voix Humaine ditulis juga berdasarkan sebuah monolog dari Jean Cocteau, tapi Poulenc dan Cocteau ada satu "advantage" yang saya tidak miliki: monolog mereka adalah seorang wanita yang "berbicara lewat telpon". Sedangkan opera saya adalah benar2 monolog seorang ibu, menceritakan banyak hal (termasuk juga menerima & berbicara lewat telpon selama beberapa menit). Jadi benar-benar monolog, bukan dialog (walaupun imajiner, lewat telpon).
Waktu itu saya kira saya akan membuat kesalahan, baik dalam proses komposisi maupun secara konseptual, karena ini sangat "experimental" buat saya : membuat musik untuk 1 soprano saja yang terus bernyanyi dan menguras tenaga selama 40 menit (hanya dengan 4 menit intermezzo di tengah, dimana sang soprano bisa keluar sebentar sementara saya dan pemain flute bermain intermezzonya). Tapi Aning Katamsi benar2 berkomitmen tinggi, dan walaupun saya tetap merasa bersalah membuat musik yang kadang-kadang ritme dan interval-intervalnya cukup ... ehm ... tidak begitu konvensional, saya tidak merevisi apa-apa lagi dari partiturnya. Kalaupun ada hal-hal yang saya tidak puas, biarkanlah ini menjadi dokumen dari "kebodohan" saya di tahun 2009. Apalagi untuk mengubah beberapa hal berarti meminta Aning untuk mempelajari hal-hal baru, dan dia sudah "rela" (oh ya?) untuk mempelajari hal-hal yang mungkin bisa disederhanakan atau diperbaiki. Jika saya harus menulis sebuah pocket opera berdasarkan monolog lagi, saya akan membuatnya dengan cara lain. Bagaimanapun, penulisan setiap karya adalah suatu proses pembelajaran buat saya, dan walaupun itu tidak menjamin bahwa karya berikutnya akan lebih baik, paling tidak saya belajar apa yang TIDAK akan saya lakukan di karya berikut. Mozart atau Britten pun tetap merelakan karya-karya awal mereka (yang juga penuh dengan hal-hal yang tidak memuaskan mereka sendiri) untuk diterbitkan. "A poem is never finished; it is just abandoned", kata penulis Paul Valery. Ganti saja kata "poem" dengan "piece of music" dan anda mengerti apa yang saya maksud. Kalau tidak begitu, setiap seniman hanya akan berkutat dengan satu karya saja seumur hidup!
Saya telah banyak bercerita tentang proses penulisan opera ini di blog ini, dalam bahasa Inggris (maaf saya kok lebih merasa mudah menulis dalam bahasa Inggris, walaupun grammarnya mungkin ada yang jeblok). Silakan cek di bulan Maret & April 2009 saja, atau silakan klik kata-kata yang menjadi "tag" dari artikel ini (IBU atau Aning Katamsi).
Ibu, yang anaknya diculik itu, akan dipagelarkan lagi tgl 16 & 17 April di Auditorium Bank Indonesia, Jakarta dengan para pemain yang sama. Selain Aning, Liz Ashford juga akan mendampingi saya dengan flute dan piccolo-nya, serta kami bersama-sama bermain beberapa instrumen perkusi juga. Silakan cek www.musik-sastra.com untuk info lengkapnya.