(This is an article of mine which appeared at an Indonesian e-newspaper 2 years ago).
Suatu hari datang satu e-mail dari seseorang bernama Nurman Pasaribu yang ditujukan ke saya. Sungguh suatu surprise! Ternyata Beliau adalah putra dari komponis yang selama ini karya-karyanya saya kagumi dan sering dimainkan, tetapi saya selalu mengira Beliau sudah meninggal (Amir Pasaribu lahir pada tahun1915). Nurman sendiri telah berkeluarga dan tinggal di Belanda. Dari Latifah Kodijat, seorang pengajar senior di Jakarta, beberapa tahun lalu saya mendapatkan banyak partitur dari Amir Pasaribu. Dua sonata untuk piano (yang no. 2 hanya bagian pertamanya saja yang partiturnya saya miliki), karya-karya kecil lainnya seperti The juggler's meeting, Puisi Bagor, Capung Kecimpung di Cikapundung dan Variasi Sriwijaya. Dari karya-karya tersebut, ada sekitar 5 karya yang saya terus mainkan di berbagai penjuru dunia, sedangkan yang lainnya tersimpan di perpustakaan saya karena banyak not-not yang salah kutip ataupun meragukan.
Sejak email pertama dari Nurman, saya kemudian banyak bertukar e-mail dengannya, juga dengan putrinya, Gonny Pasaribu. Kebetulan, bulan Desember lalu saya diundang oleh Medan Musik untuk menjadi juri Samick Piano Competition di Medan. Nurman langsung menganjurkan saya untuk menyempatkan diri berkunjung ke rumah Amir Pasaribu. "Datang saja", kata Nurman lewat telpon, "Tidak usah telpon dulu. Pappie (sebutannya untuk ayahnya) sudah di kursi roda, dan tidak pernah kemana-mana, dan pasti senang dikunjungi Ananda. Beliau sering menyebut nama anda." Ternyata, pernah ada satu artikel yang ditulis kritikus dan musikolog Bintang Prakarsa di satu harian di Indonesia yang menyebutkan bahwa saya adalah satu-satunya pianis Indonesia yang tetap memainkan karya-karyanya di luar negeri. Apa itu benar, saya sendiri tidak tahu. Yang saya tahu, ya itu tadi, saya selalu memainkan karya komponis dari negeri saya yang saya kira sudah masuk club yang saya bisa namakan "Dead Composers Society" yang anggota-anggotanya bisa disebut dari Beethoven, Bach, sampai Toru Takemitsu atau Mochtar Embut.
Jadilah hari Minggu pagi itu, setelah saya tiba di Medan hari sebelumnya, saya bersama teman & manager saya, Chendra, naik taxi dari hotel menuju ke Karya Wisata, alamat yang kami dapat dari Nurman. Rencananya kami hanya akan sebentar saja. Setelah agak berputar-putar Medan dan bertanya-tanya (saya sebenarnya cukup kaget karena orang Medan, termasuk para siswa/i musik, tidak mengenal namanya. Itulah nasib seorang seniman musik sastra di Indonesia!). Akhirnya kami tiba, dan mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ketuk lagi. Sama saja. .... "Tuh, mungkin sedang ke gereja," kata Chendra. Saya tidak menyerah. Mengetuk lagi. Tidak ada reaksi. Kami kemudian berputar, ingin bertanya ke tetangga apa benar ini rumah Amir Pasaribu. Ketika kami sampai di pintu gerbang, tiba-tiba pintu rumah bergoyang-goyang. Tapi tidak terbuka! Situasi ini mungkin hanya memakan waktu satu menit, tapi rasanya lama sekali karena kami bingung, kok surealis banget! Akhirnya, pintu terbuka, dan kami jadi mengerti kenapa hal itu terjadi. Muncul seseorang tua di kursi roda, memakai kaos oblong putih dan sarung. Langsung saya datangi. "Pak Amir Pasaribu?" "Siapa anda?" teriaknya. "Saya Ananda Sukarlan, Pak." "Siapaaa?" "Ananda Sukarlan, seorang pianis, Pak.""Siapaaa?" Membaca situasi lebih cepat dari saya, Chendra mendekati telinganya, dan berteriak "Ananda Sukarlan Pak, pianis yang tinggal di Spanyol!""Ooooooh!" Kegembiraan terpancar di wajahnya yang tadinya kelihatan galak. Beliau langsung menyodorkan tangannya untuk bersalaman. "Ik ken jouw naam (saya tahu nama anda)!" dan setelah Chendra memperkenalkan dirinya juga, kami duduk dan mengobrol di teras.
Terus terang, saya selalu grogi bertemu dengan orang baru, apalagi ini seseorang yang saya selalu kagumi, senior, dan notabene sudah tuli. Saya membayangkan menit-menit keheningan pasti akan terjadi, di mana saya tidak tahu harus omong apa. Ternyata, pak Amir orangnya banyak bicara, dan antusias sekali. Beliau lebih fasih berbahasa Belanda, jadi akhirnya percakapan berganti bahasa. Chendra yang tidak mengerti satu kata pun jadi gelisah, dan akhirnya mengambil kamera. Ceklak, ceklek ... Daripada nganggur dan tidak mengerti!
Sambil mendengarkannya berbicara, saya mengamati fisiknya. Luar biasa sekali orang ini. Umurnya 92 tahun, karakternya yang kuat masih bersinar di wajahnya. Yang menarik perhatian saya adalah telinganya yang besar, yang mengingatkan saya ke komik Tintin tentang patung-patung bertelinga panjang di Pulau Paskah. Masih ada sangat sedikit rambut putih dipotong pendek sekali walaupun sebagian besar sudah botak, dan sudah ompong. Kelihatan sekali bahwa pak Amir adalah orang yang tidak doyan berkompromi, keras dan punya pendapat yang kokoh dan sulit dibengkokkan tentang banyak hal.
"Saya menderita Alzheimer", katanya. Wow, saya hampir tidak percaya. Banyak sekali yang Beliau masih ingat. "Gimana guru anda, Oey Tjong Lee?" tanyanya. "Sudah meninggal, Pak" (Tjong Lee adalah Rudy Laban, mantan guru saya di Jakarta sebelum saya meninggalkan tanah air). "Ooooh", kegetiran, seperti semua ekspresi yang dirasakannya, langsung terpancar kuat. Raut wajahnya memang ekspresif sekali. "Usianya masih sangat muda." Kemudian, Pak Amir juga menyebut tentang "Tisna" (alm. Ny. Charlotte Sutisna, yang ditahun 60-an sangat berdedikasi untuk memainkan karya-karyanya. Rekamannya dari banyak karyanya yang dibuat di RRI akan sangat membantu saya untuk merekam kembali karya-karya tersebut, kali ini dengan teknik digital yang tinggi dan mikrofon serta studio yang 100x lebih canggih dan betapa Beliau kehilangan setelah ia meninggal. "Kawan-kawan saya terdekat kini sudah meninggal. Itulah kalau orang bertahan sampai usia lanjut, jadinya kesepian." Saya jadi ingat pernah membaca bahwa Stravinsky, semakin lanjut usianya, karya-karyanya semakin banyak yang berjudul "In Memoriam". Sebut saja: I.M. Aldous Huxley, Dylan Thomas ... itu semua ditulisnya saat ia berusia sekitar 80 tahun.
Saya juga kaget Pak Amir tahu tentang Michael Jackson. "Musik jaman sekarang, tambah lama tambah jelek ("verschikelijk"). Itu bukan seni. Itu bikin masyarakat tambah tolol". Terus terang, saya ada setujunya dengan pendapat ini, walaupun tentu saja saya tidak setuju tentang Michael Jackson, terutama hasil karyanya sewaktu ia masih berkulit hitam di tahun 80-an. "Beethoven, Brahms, Bartok, sudah tidak ada lagi komponis-komponis seperti mereka zaman sekarang. Musik pop dan rock itu sudah tidak dapat disebut musik lagi". Wah, Pak, untungnya tidak sempat mengenal musik-musik avant-garde model Stockhausen dan Boulez; kalau musik pop saja sudah tidak bisa disebut musik, lalu musik avant-garde disebut apa???
Beliau banyak tahu tentang saya. Salah satu buktinya seperti di atas, Beliau mengetahui dengan siapa saja saya telah berguru. Satu anjurannya (yang tentu saja saya sudah turuti) adalah "Blijf buitenland" (tetaplah tinggal di luar negeri). "Di sini seniman tidak dihargai," ujarnya. Beliau juga menyayangkan banyak partiturnya yang tersebar dan hilang, karena sering pindah rumah dan juga rumahnya pernah kemasukan maling. Andaikan saja maling itu tahu betapa berharganya kertas-kertas yang dicurinya!
Sulit sekali untuk pamit. Beliau sangat menikmati kunjungan dari siapa pun. Senang mengobrol, dan yang diajak mengobrol pun ketagihan. Tapi akhirnya kami pun harus balik ke hotel. Yang jelas, saya sudah mendapatkan izinnya untuk merekam seluruh karya musiknya. Lebih dari izin, Beliau "lega bahwa musik saya ada di tangan yang baik" (dalam dunia piano, kalimat ini bisa diterjemahkan secara harafiah). Pertanyaan terakhir dari Beliau, "Kapan saya bisa dengar rekaman permainan kamu? Jangan lupa, saya tidak punya banyak waktu lagi." Saya hanya bisa menjawab "Iya, Pak" .... Dan pamit pulang.
Yang masih merupakan misteri untuk saya adalah mengapa Amir Pasaribu berhenti berkarya pada tahun 70-an, di saat Beliau berumur 60-an? Usia itu, untuk jaman sekarang, relatif muda untuk berhenti berkarya. Inspirasi kering? Motivasi kurang? Bagaimana pun, tidak seperti Jean Sibelius yang berhenti berkarya saat usia 50 tahun tapi hingga kini tetap beredar gossip-gossip bahwa ada karya-karya yang ditulis setelahnya (seperti Simfoni no. 8), dalam hal Amir Pasaribu cukup jelas. Beliau memang telah berhenti berkarya sejak lama. Sebetulnya yang saya lebih sayangkan adalah partitur-partitur yang hilang entah kemana. Sewaktu saya bilang bahwa putranya telah berhasil mengumpulkan sekitar 25 karya untuk piano, pak Amir berkata "Sebetulnya sangat lebih dari segitu. Tapi, ada di mana musik-musik itu, tidak ada yang tahu. Sudah, lupakan saja." Wah, maaf Pak, tidak bisa saya lupakan. Itu aset negara sebetulnya. Sayangnya, hanya beberapa orang saja yang sadar betapa bernilainya itu. Sayangnya, nilainya bukan berupa uang, dan kalau bukan uang, di abad 21 ini namanya bukan nilai .....
Ananda Sukarlan,
komponis & pianis.