domingo, 17 de abril de 2022
Post scriptum tentang NFT Piano Competition
Akhirnya, Indonesia bisa meng-claim sebagai negara pertama yang membuat kompetisi piano untuk NFT. Sebelum ini, saya memang ternyata adalah musikus klasik Asia pertama yang meng-NFT-kan musik saya, itu sebabnya saya ingin bagikan "reputasi" ini ke 25 pianis di negeri ini yang akhirnya memenangkan kompetisi ini. Tentu saja untuk bisa membuatnya "Non Fungible" dan unik, kita harus membuat karya baru yang belum pernah ada, sehingga saya membuat Variasi dari Do-mi-sol, 3 not paling basic dari tangganada apapun di planet ini. Untuk lengkapnya, baca aja deh
https://www.froyonion.com/news/viral/ananda-sukarlan-gelar-kompetisi-piano-nft-pertama-di-dunia .
Saya memang sengaja tidak membocorkan cerita-cerita dan latar belakang dari tiap variasi, karena saya berharap tiap pianis bisa menginterpretasi sendiri apa yang ingin "diceritakan" di tiap variation yang semua memiliki latar belakang programatis, kejadian nyata (yang tentu kadang-kadang di dramatisasi untuk keperluan artistik). Anyway, banyak judul dari variations itu bisa di-google, misalnya Organum, Dies Irae dll.
Ada beberapa hal yang "tidak terduga" sebelumnya; yahhh, namanya juga pertama kali, pasti ada surprises dong. ........................................................................................................................................
Misalnya, ada dua pianis yang terpilih memainkan "Organum" karena tiap pianis sebetulnya menonjolkan karakternya. Padahal Organum memiliki expressive range yang besar, dari kelembutan sampai kemarahan / agresivitas. Sensivitas dan kelembutan itu ditonjolkan oleh Lavinia Lee, sayangnya dia tidak bisa mengekspresikan agresivitas dan elemen ritmis yang kuat di bagian akhir dan polifoni karya ini. Nah, elemen ritmis ini sangat baik dimainkan oleh Michael Abimanyu Kaeng, yang masih kurang mengeksplorasi elemen "rubato" di bagian awal dan tengah. Rhythmic sense yang kuat dalam dirinya bisa menjadi bumerang dalam memainkan karya-karya romantik yang membutuhkan kebebasan menarik-ulur tempo dan ritme. Memang sih Michael tidak perlu memilih karya-karya romantis, atau Lavinia tidak perlu memainkan karya polifonik seperti Bach, Hindemith atau Shostakovich dalam karirnya kalau memang itu bukan "forte"nya, tapi aspek ini mereka harus lebih kenali dan kembangkan, karena setiap komponis yang telah menyerap musik dari Bach sampai Philip Glass (dan melalui teknik komposisi Beethoven dan Brahms) seperti saya pasti menggunakan berbagai macam elemen dan aspek walaupun cuma "nyerempet". ........................................................................................................................................
Satu pelajaran yang bisa diambil para pianis yang mengikuti kompetisi adalah untuk jangan mengambil karya yang (akan) menjadi terlalu nge-hitz. "Mother's Love" dimainkan oleh puluhan pianis, dan itu menjadikan opsi menangnya mereka menjadi lebih kecil. Mother's Love itu cukup mudah secara teknis, melodinya catchy, dan mungkin juga para emak-emak yang mendorong anak mereka untuk memainkannya karena ehhhmmm .... ya judulnya aja Mother's Love. ........................................................................................................................................
Kalau mau mengkritik diri saya sendiri, ya sebetulnya kompetisi ini kami adakan agak terlalu buru-buru. Intinya memang mau mencetak sejarah sebagai kompetisi piano untuk di-NFT-kan, sebelum keduluan orang / institusi lain terutama di negara-negara yang lebih maju. Sebagai yang pertama, semoga ini memberi kami pelajaran justru dari berbagai kekurangan yang kami telah lakukan. Kedepannya, saya berencana untuk membuat Ananda Sukarlan Award 2022 ini untuk NFT, dengan persiapan (baik oleh pihak penyelenggara maupun pihak peserta) yang lebih baik dan matang, itu sebabnya kami ingin undur penyelenggaraannya sampai paling tidak bulan Agustus mendatang. ........................................................................................................................................
Meng-NFT-kan permainan 25 pianis ini akan makan waktu beberapa minggu, terutama karena NFT itu terdiri dari partitur, rekaman dan tulisan tentang latarbelakang variasi tersebut. Saya juga bangga banget dengan Metaroid , platform marketplace karya anak bangsa 100% yang menggunakan format 1155 yang sangat mengakomodasi segala bentuk musik, karena seperti kita ketahui, NFT selalu identik dengan hal yang visual. Satu hal lagi yang membuat Indonesia menjadi pionir dalam dunia digital.
viernes, 15 de abril de 2022
Pengalaman Bertemu Hantu pertama kali
Saya ini penggemar film horror, walaupun tidak pernah mengkoneksikannya dengan dunia nyata. Buat saya, hantu, dracula, vampires dll itu hanya di dunia fiksi, baik performing arts, film ataupun sastra, makanya itu exciting. Apalagi musiknya, Danny Elfman yang bikin soundtrack Sleepy Hollow itu keren banget, belum lagi "nguik nguik"nya Bernard Herrmann di "Psycho" itu legendaris. Eh, Psycho itu bukan horror sih, tapi shower scene-nya itu iconic banget lah. Dari dulu saya ingin ketemu hantu, dan kayaknya keinginan itu terrealisasi beberapa hari lalu. .........................................
Di Jogja kemarin saya bersama teman saya yang jadi executive producer ada keperluan meeting di sebuah hotel yang memang kalau di-google, Google sendiri autofill dengan "angker" dan "horror". Nah sambil menunggu, saya ingin ke toilet, jadi saya sendirian ke sana, sementara Nita menunggu (tapi Nita bisa melihat pintu toiletnya dari tempat dia duduk). Begitu saya masuk toilet (yang tidak terlalu besar, hanya ada 2 urinoir dan beberapa pintu untuk toilet duduk), ada bapak-bapak tua (saya tahunya tua karena beruban ---eehmmm jadi saya juga tua dong?), berbaju batik dan menghadap tembok tapi di pojok, sama seperti kalau kita waktu sekolah dulu dihukum guru. Jadi dia tidak membelakangi kita karena sedang "bertugas sebagai laki-laki" di urinoir. Saya risih dong, jadi saya bilang, "maaf pak, permisi", karena dia memang agak mengganggu karena berdirinya persis sebelah urinoir. Eh, dia cuma kayak menoleh tanpa melihat saya, terus melihat ke tembok lagi. Saya annoyed dong, dan karena saya tidak terlalu kebelet, ya udah saya keluar. Nita tanya "kok udah"? (abis cepet banget kali ya), dan saya cerita tentang si bapak. Terus saya melihat security hotel di receptionist, jadi saya ngadu soal si bapak itu. Eh sang security langsung jawab dgn ramah "oh, iya pak, sini saya antar" (padahal saya gak butuh diantar, saya butuhnya dia ngomong ama bapak tsb). Dia kayaknya ngerti banget masalah ini, terus langsung ke toilet sementara saya ogah-ogahan di belakangnya, jadi sang security masuk toilet dan tidak lama kemudian keluar dan bilang kepada saya yang sudah di dekat pintu toilet "ok pak, silakan sudah bisa". "Loh bapak itu ga mau keluar?" tanya saya. "Udah ga ada pak", jawabnya. Padahal saya tidak melihat siapa-siapa keluar, dan pintu toilet itu cuma satu. Ya udah, saya masuk, dan ternyata memang sudah tidak ada siapa-siapa, jadi ya saya melakukan tugas saya sebagai seorang laki-laki sambil berdiri tegak dan fokus (eh yang tegak dan fokus itu postur saya ya). Aman terkendali. ..................................................................
Balik ke tempat teman saya, dia tanya, "si bapak gimana"? Saya jawab "udah keluar kali" tapi kok dia bilang dia nggak liat siapa-siapa keluar. Nah, gitu deh. Mungkin juga dia bukan hantu, tapi calon aktor Indiana Jones 6 yang umur 80 masih bisa escape ngelubangin langit-langit WC, tapi buat apa juga escape dari saya kan? Saya bukan FBI yang lagi ngejar dia. .........................................................
Gitu deh. Eh udah baca interview saya ama Aldo Sianturi, tokoh bisnis musik Indonesia? Nih deh http://www.aldosianturi.net/30-deep-questions-with-ananda-sukarlan/ . Ok guys, have a nice weekend!
Suscribirse a:
Entradas (Atom)