sábado, 27 de agosto de 2016
Article for KOMPAS KLASS, Aug. 24 : Musik Sastra, sudahkah Merdeka?
This is my original article sent to Kompas Klass, published with very few editing. My original title was "Classical Music, is it already Independent (or Free?)", since this article is commissioned to be related to the Day of the Declaration of Independence, August 17th. Kompas changed it into "To Fertilize the Soil for the Classical Music", taken from a phrase in my article. .............................................................................................................................................
71 tahun kita telah merdeka. Apakah dunia seni dan budaya kita sudah merdeka? Di dunia musik sastra, sudahkah kita benar-benar menjadi Indonesia? .............................................................................................................................................
Musik sastra (istilah yang lebih tepat daripada "musik klasik") adalah salah satu genre musik di Indonesia yang masih belum memiliki identitas Indonesia yang kuat, bahkan banyak dari golongan kelas menengah ke atas masih menginginkan kesan bahwa "semakin kebarat-baratan semakin baik" dan musik ini justru harus dibikin(-bikin) eksklusif. Padahal jika kita lihat sejarahnya, musik ini berasal dari gereja di Eropa sejak Abad Pertengahan, dimana gereja adalah tempat berkumpulnya orang dari segala kalangan. Kemudian, musik ini banyak mengambil bahan musikal dari musik etnik di Eropa, sehingga menguntungkan kedua belah genre: musik etnik terlestarikan dan berkembang, dan musik sastra mendapat angin segar. Sejak abad 20, musik ini kemudian mulai kehilangan popularitasnya dengan datangnya musik pop, sehingga para pemerintah tiap negara Eropa merasa perlu untuk mensubsidinya untuk biaya produksi yang tidak murah dan tidak dapat tertutup dari pemasukan tiket penonton. Di sinilah masalah dimulai, antara lain karena 1. proses kurasi untuk menentukan seni(man) mana yang mendapatkan subsidi, dan 2. para seniman tersebut sering menjadi terbuai karena subsidi itu dihibahkan tanpa persyaratan dalam daya komunikatifnya dengan masyarakat, sehingga jarak antara seniman dan konsumen seni semakin menjauh. .............................................................................................................................................
Seni dan budaya adalah hak setiap warganegara, sama dengan hak-hak di bidang politik, sosial dan ekonomi. Semua warga negara memiliki hak untuk terlibat dengan pelestarian warisan budaya dan penciptaan karya artistik baru. Mereka juga memiliki hak untuk terlibat dalam menghasilkan produk kreatif, untuk memiliki akses ke pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk memainkan alat musik, menggambar, menari, menulis atau desain. Hak budaya yang universal ini terkikis setiap kali kita gagal mendapat dana untuk organisasi seni dan seniman yang menyediakan akses ke kebebasan berekspresi. .............................................................................................................................................
Sebetulnya, sebagai negara yang tidak memiliki tradisi musik sastra serta cukup ketinggalan di bidang itu, kita banyak bisa belajar dari banyak kesalahan yang telah dilakukan negara lain. Di Eropa, musik ini jauh menurun baik peminatnya maupun pelakunya, salah satu karena alasan subsidi di atas (dilihat dari minat anak muda yang mau masuk fakultas musik). Bahkan, jika kita google "classical music", google secara otomatis menyambungnya dengan "is dying" (sedang sekarat), yang membuktikan kebenaran asumsi ini. Para seniman yang terbuai dengan subsidi pemerintah tidak biasa dengan berbagai inovasi serta strategi pemasaran yang kini jauh dipermudah dan dipermurah dengan adanya media sosial. Padahal kinilah saatnya musik ini bisa berkembang, setelah bertahun-tahun dimonopoli oleh para perusahaan rekaman. Sekarang lah saatnya para "independen" (indie) dapat berkembang dan menghadapi pemikiran ulang konsep kepemilikan. Kita telah menggantikan opsi penjual - pembeli dengan realitas pemasok - pengguna.
Semua ini mengubah cara musik dikonsumsi, sehingga kita tidak bisa lagi menjual musik klasik dengan cara yang juga klasik (apalagi dengan metode yang dipakai di Barat). .............................................................................................................................................
Di Cina misalnya, bukannya berinvestasi di bakat dan sumber daya manusia, pemerintah daerah malah menggunakan subsidi budaya untuk membangun gedung opera, arena pertunjukan, dan proyek properti high-profile lainnya. "Tak satu sen-pun dari uang itu masuk ke para seniman, hanya ke para promotor artis sebagai perantara," kata Scarlett Li, salah seorang promotor musik terkemuka. "Padahal para perantara itu tidak berada di posisi untuk menciptakan konten. Ini tidak masuk akal bagi saya. Kita justru kekurangan komponis dan penulis" lanjutnya di koran Inggris "The Guardian". .............................................................................................................................................
Di Indonesia musik sastra mulai bisa berkembang karena dua elemen penting: 1. peminat yang mulai sangat meningkat. 2. para sponsor atau "patron" yang lebih banyak karena secara pribadi memang menyukai jenis musik ini. Tokoh-tokoh yang telah lama mensponsori konser musik ini antara lain B.J. Habibie dan sekarang putranya Ilham Habibie melalui Yayasan Habibie & Ainun, Pia Alisjahbana, keluarga Panigoro (kadang melalui MEDCO, kadang masing-masing secara pribadi. Perlu dicatat bahwa Hilmi Panigoro pernah menjadi juara nasional gitar klasik di waktu mudanya), Giok Hartono (kadang juga melalui departemen CSR perusahaannya, DJARUM). Beberapa organisasi seperti Rotary Club malah sering menyelenggarakan konser musik ini untuk mengumpulkan dana. Sebetulnya, dengan pemberdayaan cara pemasaran yang baik, dua elemen ini akan bisa bersinergi dengan sangat efektif, karena di dunia seni, pembeli/pelanggan bukan lah raja. Mereka adalah rekan, bahkan kadang mitra kerja yang harus dipenuhi tuntutan kualitasnya, tapi bukan tuntutan seleranya. Seorang patron yang baik harusnya tidak memaksakan seleranya ke para seniman, mereka justru sudah tahu seniman mana yang cocok dengan selera mereka, dan hanya harus menuntut kualitas produk seninya. Mereka tidak berhak untuk mengubah "genre" musik sang komponis, dan sang komponis (ataupun seniman apapun) harus diberikan kebebasan berekspresi untuk bisa memaksimalkan --serta bertanggung jawab atas-- kualitas karyanya. .............................................................................................................................................
Kemerdekaan juga berarti kita bisa "go international" dengan apa yang kita miliki. Dengan adanya social media, semua seniman praktis bisa dengan mudah "go international". Pasang saja karya foto atau lukisan di instagram, karya musik di youtube atau soundcloud dan seluruh dunia bisa mengaksesnya. .............................................................................................................................................
Musik sastra seperti seni lainnya bisa diibaratkan satu lahan yang luas. Untuk bisa berkembang, dibutuhkan bermacam tanaman yang tumbuh bersama-sama, tapi yang paling utama adalah membuat lahan itu subur dahulu. .............................................................................................................................................
Mari kita mulai bekerja, karena jika kita tidak hati-hati dan memulainya segera, satu hari kita akan bangun tidur dan menyadari bahwa buku yang kita baca, film dan televisi yang kita tonton semua datang dari luar negeri, bahwa musik yang kita dengarkan tidak senada dengan suara kita, dan panggung sandiwara kita tidak mengisahkan sejarah, budaya atau tradisi kita bahkan aktornya tidak berbicara dengan bahasa kita. Jangan sampai kita akan bertanya, "kenapa ini terjadi?"
Suscribirse a:
Entradas (Atom)