miércoles, 5 de diciembre de 2012
A leader starts with being able to lead himself ....
Yup, it's confirmed: twitter makes us blog less. It's been 2 months for me without blogging, and even this entry is not new either. I just came back from the launching of the book "Letters of Leaders" at the JW Marriott Hotel, Jakarta where I was honoured to be selected as 1 of the 95 "personalities who have contributed in the making Indonesia as it is now", produced by the Tempo Institute in collaboration with General Electric and Garuda Indonesia (that's our airline company). Each of us was asked to write a letter to "the future leaders" in our respective fields. I am flattered that many people I admire are also included in that book, a.o. political leaders Sri Mulyani, the new governor of Jakarta Joko Widodo, writers and intellectuals Anies Baswedan, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Ayu Utami, athletes Richard Sam Bera, Yayuk Basuki, film makers Mira Lesmana & Riri Reza, fellow musicians Addie M.S. and Glenn Fredly. All letters are in Indonesian, of course, so if you want to read mine, please copy it to our dear friend Google Translate :) . So, here is my letter. ==============================================================================================================================================
Dari Ananda untuk ananda-ananda tercinta, para pemimpin masa depan negara RI,
........................................................................................................................................
Terima kasih telah meminjamkan negara ini kepada kami, generasi di atas anda. Dalam waktu singkat kami akan kembalikan negara ini ke kalian, pemilik sahnya. Walaupun cuma pinjaman, saya merasa sangat bahagia dapat memilikinya sesaat, mencintainya sampai mati dan selalu bangga menjadi warganegaranya, apapun reputasinya di dunia internasional saat ini. Negara kita memiliki sumber daya seni dan budaya yang terkaya di dunia, dan kami generasi sebelum anda belum bisa menggunakannya sepantasnya, bahkan masih banyak yang berpikir bahwa segala yang "Barat" itu lebih keren dan berkualitas, jadi tugas anda lah untuk menggunakannya demi kemakmuran dan kedamaian seluruh rakyat. Jangan mengulang kesalahan kami, sadarlah dan wujudkanlah dengan berkata "Saya orang Indonesia" di negara manapun orang akan menghormati anda. ...........................................................................................................................................
Tapi bagaimana caranya "Menjadi Indonesia"? Saya sendiri tidak tahu. Yang jelas, dalam seni, saya telah selalu berusaha menunjukkan identitas Indonesia dalam musik sastra (istilah yang saya ingin tawarkan untuk menggantikan "musik klasik"), dan saya berharap usaha tersebut dapat diteruskan oleh para pemimpin kita berikutnya, bukan hanya dalam musik tapi di bidang seni lainnya. Sejak saya menginjakkan kaki di negeri orang pada usia 18 th, saya tahu bahwa saya hanya bisa berhasil sebagai saya sendiri dan sebagai orang Indonesia, bukan sebagai seorang komponis peniru musik Bach atau Wagner. Sebagai pianis, sudah (terlalu) banyak juga pianis yang sangat kuat memainkan musik Chopin dan Tschaikovsky; Eropah dan dunia tidak terlalu membutuhkan seorang anak Jakarta yang mencoba memahami musik yang bukan tradisinya, dan mencoba memainkannya lebih baik dari para kolega Eropah saya. Musik mereka memang saya serap, tapi tidak saya reproduksi mentah-mentah. Hanya 1 kekuatan lebih yang saya miliki: ke-Indonesiaan saya. Musik yang merupakan ekspresi dan komunikasi universal yang melampaui kata-kata, harus bisa memperkuat identitas kita. Karena sudah melampaui kata-kata, musik tidak bisa berbohong ; itulah bentuk ekspresi yang paling jujur dan dalam. Saya memiliki harta yang sangat berharga: pengalaman hidup, budaya dan tradisi bangsa saya selama 17 tahun pertama di Indonesia yang berasimilasi dengan musik sastra Eropah yang saya geluti sesudahnya. Apa itu berarti saya lebih baik daripada mereka? Tidak, dan saya tidak berusaha untuk lebih baik dari siapa pun. Saya hanya selalu berusaha untuk lebih baik dari apa yang saya pikir saya sendiri bisa capai. Menjadi saya adalah menjadi yang lebih baik dari saya. Dan akirnya menjadi Indonesia juga demikian. ...........................................................................................................................................
Kalau Austria bisa membuat kota kelahiran Mozart yang sangat kecil, Salzburg, menjadi obyek wisata dunia, kenapa kita tidak? Kalau Jerman bisa mengangkat Simfoni ke-9-nya Beethoven menjadi lambang persaudaraan dan perdamaian sedunia, kenapa kita tidak? Dan kalau Italia bisa menjadikan "Mona Lisa"-nya Leonardo da Vinci menjadi lambang keindahan enigmatik sedunia, kenapa kita tidak? Bukan tanggungjawab Mozart, Beethoven dan da Vinci bahwa ketiga contoh itu bisa terjadi. Mereka, seperti seniman-seniman lainnya, hanya "mengerjakan tugasnya". Tapi, "to have great poets, there must be great audiences too", kata penyair Amerika Walt Whitman. Amerika telah menjadi great audience untuk Whitman, kini giliran para seniman besar Indonesia yang telah menghasilkan banyak mahakarya untuk memiliki a great audience. Ini hanya bisa dimulai di negaranya sendiri, karena negara yang besar adalah negara yang bisa menjadi a great audience untuk mencintai dan bangga atas para senimannya. .......................................................................................................................................
Hanya satu pesan saya kepada anda, pemimpin masa depan negeri ini. Pimpinlah dengan kerendahan hati, karena kepemimpinan adalah amanat dan kepercayaan rakyat terhadap anda. Sekecil apapun yang kita dapatkan, baik sejak lahir maupun yang kita dapatkan dari jerih payah adalah dari Tuhan melalui umatNya, dan semua itu tidak ada yang kekal. Mungkin saya tidak lagi perlu memohon supaya anda tidak korupsi, karena semua yang bisa dikorupsi akan habis oleh generasi saya ini, tapi tetaplah ingat bahwa kita semua sudah diberi jatahnya oleh Tuhan, dan jatah itu sangat cukup untuk dibagi. Sebagai contoh, kontribusi Yayasan Musik Sastra Indonesia yang saya ikut dirikan memang masih kecil, tapi kebahagiaan anak-anak kurang mampu setelah berhasil memainkan instrumen itu adalah suatu hal yang tidak ternilai dalam menaikkan harga dirinya dan membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik, bukan saja dalam musik, tapi dalam moral. Kalau anak-anak itu, calon-calon pemimpin itu di kemudian hari membalas budi kami dengan cara meneruskannya, membagi dan memberi ke mereka yang kurang mampu juga, saya yakin itu akan menjadi Indonesia yang semakin baik. Menjadi Indonesia yang kita impikan. Menjadi Indonesia. ...........................................................................................
Salam artistik,
@anandasukarlan
Suscribirse a:
Entradas (Atom)