domingo, 27 de diciembre de 2015

My article (in 2 editions) on Sarasvati Magazine, in Indonesian

The cultural magazine SARASVATI commissioned me for an article on classical music, and I came up with the idea of writing about myths and popular (untrue) stories in this field. But it turned out that I found too many of them, so I asked the magazine if I could write a longer article, to be published in 2 editions. They accepted. So, here is the first one, my original (not the published & edited one) on the November edition. The title was originally "What you wanna know in classical music but are afraid to ask" (sorry for referring to Woody Allen's great movie, substituting the word "classical music" with "sex"), but the published title is changed into "Debunking Myths in classical music" (which is in fact better, and inspirational for me to write the second article to be published in December. I will post it in a few days here.) ............................................................................................................................................. Apa yang anda ingin ketahui di dunia musik klasik tapi malu bertanya ............................................................................................................................................. Dunia musik sastra (istilah yang saya kira lebih tepat untuk menggantikan "musik klasik") kelihatan berlimpah glamour, misteri, kompleksitas ... dan mitos-mitos yang banyak dari kita malu untuk bertanya tentang kebenarannya. Saya ingin membahas beberapa di antaranya dalam 2 tulisan berseri. Setelah membaca ini, mungkin pembaca ingin bertanya mitos-mitos yang lain, bisa silakan tweet ke @anandasukarlan untuk saya pertimbangkan di artikel di penerbitan Sarasvati bulan depan. ............................................................................................................................................. 1. "The Mozart Effect" ............................................................................................................................................. Ada "fakta" yang sangat populer sejak th. 90-an bahwa hanya dengan mendengarkan Mozart dapat menambah poin untuk IQ kita, bahkan untuk bayi yang sedang di kandungan. Mitos tentang Mozart Effect ini berasal dari "studi" yang menghubungkan antara nilai lebih tinggi yang dicapai pada tes spasial-temporal tertentu setelah mendengarkan musik Mozart yang banyak dipublikasi di media sosial. Padahal sampai sekarang tidak ada yang pernah bisa membuktikan bahwa hanya musik Mozart memiliki efek yang berefek pada inteligensi. Faktanya adalah bahwa memainkan satu instrumen memang menuntut menggunakan bagian-bagian otak yang biasanya tidak digunakan, karena ini menyangkut aktivitas aural, menerjemahkan not di atas kertas menjadi bunyi, koordinasi beberapa indera, serta menstimulasi sensitivitas terhadap nilai-nilai artistik. Hal inilah yang bisa menaikkan kecerdasan, dan bukan hanya dengan musik Mozart. Kalau cuma soal mendengarkan secara pasif, saya sendiri punya teori sebaliknya: mungkin justru karena seseorang itu kecerdasannya di atas rata-rata lah makanya ia bisa "mengerti" musik sastra yang cenderung biasanya lebih terelaborasi strukturnya dan durasinya lebih panjang yang membutuhkan attention span yang lebih intens. Mendengarkan musik bisa memberikan dampak psikologis jangka pendek, dan belajar main instrumen bisa memberikan dampak jangka panjang. Tetapi bukan berarti kecerdasan manusia bisa meningkat secara instan dan musik juga tidak langsung dapat mengatasi masalah gangguan inteligensi. ............................................................................................................................................. 2. Musik klasik itu kuno, dan bikinan komponis yang sudah mati. ............................................................................................................................................. Fakta ini hanya terjadi di sekitar 50 tahun terakhir. Sampai wafatnya Rachmaninov (1945) mereka masih memainkan karya-karyanya sendiri maupun kolega-kolega semasanya, bahkan terus sampai wafatnya Stravinsky (1971) atau Britten (1976). Tapi sejak itu, dunia ini terbelah dua: mereka yang "mencipta" dan yang "memainkan", antara lain karena lahirnya para "raksasa piano" yang memiliki teknik pianistik luar biasa tapi tidak mencipta musik seperti Artur Rubinstein dan Vladimir Horowitz yang menjadi inspirator utama banyak komponis abad 20. Jadi mulai ada pemain piano, biola dll yang tidak membuat musik, dan "komponis" itu bisa tinggal di rumah saja menulis, karena yang memainkan karyanya adalah orang lain, walaupun sekali-sekali ia masih naik panggung, baik memainkan instrumennya ataupun memimpin orkes atau grup musik sebagai dirigen. Ini juga mengapa saya ingin menawarkan istilah "musik sastra" sebagai pengganti "musik klasik", karena "sastra" itu berarti tertulis (di atas partitur). Itu tidak berarti yang menulis sudah tua / mati ("klasik"). Sekarang fenomena ini sudah mulai balik lagi ke zaman seperti dahulu, dimana komponis adalah juga seorang performer, seperti pianis Marc Andre Hamelin, pianis/dirigen Andre Previn dan juga saya sendiri yang aktif sebagai komponis DAN pemain. ............................................................................................................................................. 3. Bagus tidaknya permainan satu orkes itu tergantung dari dirigennya. ............................................................................................................................................. Bahkan ada pepatah "There are no bad orchestras, only bad conductors". Salah besar. Jika sang dirigen "error" , musisi di grup yang profesional tetap bisa melanjutkan permainan mereka. Memang selalu ada musisi di orkes itu yang memberi aba-aba untuk rekan-rekannya, tapi itu membuktikan bahwa dirigen itu memang diperlukan untuk memudahkan, tapi tidak mutlak. Yang pasti mereka sangat "overestimated" dan bayaran mereka sering tidak masuk akal yang justru bisa membuat bangkrut sebuah orkes, seperti yang ditulis Norman Lebrecht di bukunya "The Maestro Myth" (2001). Bahkan sekarang mulai bermunculan orkes tanpa dirigen, yang sangat menghemat biaya, karena biaya latihan ekstra masih lebih murah daripada membayar "superstar conductor". Sebaliknya, kalau musikus di orkes itu tidak berkualitas baik, siapapun yang berdiri di depan orkes tidak akan bisa membuat sebuah konser menjadi baik. ............................................................................................................................................. 4. Musik klasik itu sedang sekarat. ............................................................................................................................................. Jika anda google "classical music", google akan otomatis melanjutkan: "is dying", yang menunjukkan betapa hip-nya frase ini. Faktanya: 1. dalam 10 tahun terakhir subsidi pemerintah Eropa untuk ini memang telah menyusut banyak. 2. Eropa tidak melakukan regenerasi penonton dengan membuat program-program yang inovatif, jadi penonton muda tidak lagi mendatangi gedung konser. Ini memang berarti popularitasnya sangat menurun di Eropa, tapi sebaliknya di Asia musik ini sedang booming dengan terdatanya lebih dari 40 juta (ya benar, nolnya tujuh!) pianis hanya di Cina saja, dari profesional sampai yang sedang belajar di sekolah musik. Musik sastra tidak akan bisa mati, karena ini tergantung dari produsen dan konsumen, dan balance ini sangat sehat situasinya di Asia. Selain itu, siapa yang tidak tersentuh dan tergugah oleh musik Bach yang ditulis 300 tahun lalu? Keuntungannya, Asia tidak terikat tradisi "European classical music" yang ketat, sehingga para pelaku musik bisa lebih bebas dalam programming. Struktur program konser standar di Eropa itu yang justru membosankan, dan kita di Asia harusnya lebih inovatif. Berbagai masalah juga berbeda, sehingga solusinya tidak bisa semata-mata dengan "menjiplak" Eropa. Orkes simfoni pun disini problemnya jauh berbeda, dan saya selalu mengacu ke konsep saya bahwa Indonesian problem needs Indonesian solution, yang berhubungan dengan cara kerja dan berpikir musikus di sini, cara organisasi perusahaan (baca: orkes) sampai ke pemenuhan harapan publik bahkan kemacetan jalan di Jakarta. ............................................................................................................................................. 5. Guru piano A ahli dalam style Beethoven, sedangkan B lebih mengerti Bach ............................................................................................................................................. Tentu saja tiap komponis memiliki "style" dan ciri khas tersendiri, tapi bagaimana seseorang bisa menyatakan bahwa "main Bach itu harus begini/begitu"? Apa dia pernah dengar Bach main karyanya sendiri, rekaman dari abad 18? Yang betul adalah, interpretasi musik seorang komponis ditentukan bukan hanya dengan mengenal 1 atau 2 karyanya, tapi sebanyak mungkin karyanya untuk lebih mengenal style-nya. Tapi pada akhirnya, klaim bahwa "komponis A harus dimainkan dengan cara begini" itu 100% adalah teori dan pendapat pribadi, kalau memang tidak ada rekaman dari permainan sang komponis itu sendiri. Kita sekarang bisa bicara secara jauh lebih akurat tentang style-nya Rachmaninov, Stravinsky dll karena ada rekaman permainan mereka sendiri, tapi jika seorang peserta kompetisi digugurkan oleh juri karena "style permainan Bach-nya tidak akurat", juri itu dapat didebat dengan mudah: bagaimana anda tahu bahwa style-nya harusnya seperti yang anda nyatakan? (Bersambung)