martes, 19 de enero de 2016

Tumirah interrupted ... gladly. And RIP David Bowie

Woohoo, I received a God-given excuse to interrupt the composition of my opera, Tumirah, Sang Mucikari ! The opera's vocal and piano score is almost finished, I just have to orchestrate it which will take a few weeks. But I feel my brain rather exhausted from it, and was feeling like taking a small break without feeling guilty about it ... and voila! ............................................................................................................................................. The young rising star poet Adimas Immanuel contacted me last week that he is having his new book of poem launched by publisher GRAMEDIA next month. He was happy that the also rising soprano star Mariska Setiawan (I guess they are of the same age, around 24-25?) has recorded my music based on one of his poems in her first CD. Since Mariska came to Jakarta for the Jakarta New Year Concert last week (she normally lives in Surabaya), all 3 of us made an appointment to meet very late after the concert. When I said "very", it means like eerrr ... almost 11 p.m., in a restaurant near my apartment. This photo was taken during that meeting, which was so inspiring and went on and on until very late ... or shall I say early? Adimas asked us if we would like to do (meaning: make music of) some of his poems for the launching event, and Mariska and me didn't think twice to accept it. And so, he emailed us both the softcopy of his new book, and both Mariska and me got the privilige to be the first readers (outside his publishers) of his new book, 1 month before its official launching! Of course we are "under oath" not to forward it to anybody else, since Adimas is now one of the hottest property of Indonesian literature at the moment and the launch of a new poetry collection is something that is much looked forward to. Everything happens very quickly. A few days later Gramedia had a meeting with my manager Chendra, and everything is set to be done for next month. ............................................................................................................................................. And so we are in the middle of the compositional process which is fun and unique, since to begin with, most of the poems are inspired by paintings. Therefore, setting them to music is a second step of the artistic transformation: from painting to poetry, and from poetry to music. So Mariska and I discuss a poem (and the painting that inspired each of them) every night before she sleeps. By the way, she sleeps "normally" as most of human beings do: around midnight. So we pick a random poem (like me, she is also a literature freak), talk about it, agree whether to set it to music (or not) and after she falls asleep I start to work on a chosen one until about 3-4 a.m. I then email the finished music just before sunrise before I walk a bit around the swimming pool and then sleep, so she wakes up and finds the music to learn it during the morning and gives me some feedbacks. Oh, the beauty of technology! Poor Brahms or Schumann couldn't do these kinda things with their singers. It's really a fun and inspiring way to write music. And I learn a lot from Mariska too. The human voice is a neverending mystery to reveal. Since Mariska is also a pop singer -- and a damn good pop-songwriter too, I feel a good connection, since I am a huge fan of many of her heroes, such as The Beach Boys, Freddie Mercury, Michael Jackson .... and from her I start to appreciate the great art of David Bowie, may he Rest in Peace. What a way to leave the world, with his latest farewell song Lazarus ... and dying from cancer at the age of a Cancer symbol, 69. ............................................................................................................................................. The concert and launch of Adimas' new book Di Hadapan Rahasia (Facing a Secret), plus the World Premiere of my new song cycle "Rangkaian Rahasia Untuk Mariska" (A chain of secrets for Mariska) will take place at Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, on Wednesday the 17th of February. We still discuss the time it should start, since there are many things happening there: book signing, a small discussion with some snacks and about 1 hour of concert, not only with the songs, but with some Rapsodia Nusantara as well. Please just contact my office Ananda Sukarlan Center for more info and details : ycep@yahoo.com or 0818 891038 (WA or sms too).

martes, 5 de enero de 2016

My article on KOMPAS KLASS, Jan. 5 : Transforming BRAIN DRAIN to BRAIN BANK

As usual, I post here my ORIGINAL (not edited by the newspaper) article :) . We had a long discussion about the title, the possibilities are: Quo Vadis, Musikus Muda? and Berbakti untuk Negeri, Di Luar Negeri, but at last we settle down with Mengubah Brain Drain jadi Brain Bank. So, here it is. ............................................................................................................................................. Mungkin banyak dari kita yang masih belum sadar, bahwa jumlah pelajar Indonesia yang kuliah musik sastra (istilah yang menurut penulis lebih tepat daripada "musik klasik" karena artinya "musik yang tertulis") di luar negeri saat ini mencapai ratusan jumlahnya. Dua di antaranya adalah gitaris John Paul dan penyanyi soprano Jessica J. Januar "JJ" yang 18 Desember lalu diundang oleh Instituto Italiano di Jakarta untuk menggelar konser yang inspiratif. JJ memang baru saja lulus dari kuliahnya di Guildhall School of Music (London), sedangkan John Paul masih kuliah di Cimarosa Conservatory of Music (Italia) , dibawah bimbingan gitaris ternama dunia, Aniello Desiderio. John berhasil "menembus antrian" ratusan gitaris muda yang berambisi untuk menimba ilmu dari sang Maestro kelahiran Napoli ini. ............................................................................................................................................. Nilai artistik serta kepekaan musikal mereka tentu tidak diragukan lagi, dan bukan untuk itu saya menulis artikel ini. Saya ingin menekankan visi dan metode mereka dalam programming konser mereka, yang menyatukan musik Italia dan Indonesia. Di konser ini JJ memang hanya menyanyikan 2 lagu sebagai bintang tamu, tapi John Paul dengan gitarnya bukan semata-mata pamer virtuositas dengan karya-karya yang sudah sangat populer oleh Moreno Torroba atau F. Tarrega (anda mungkin tidak tahu nama ini walaupun tema karyanya Gran Valse digunakan Nokia untuk ringtone-nya yang anda kantongi selama bertahun-tahun). Memang, para komponis paling terkemuka dunia untuk gitar kebanyakan berasal dari Spanyol, dan memang John Paul memainkan Invocation & Dance karya Joaquin Rodrigo sebagai pembuka. Tapi menu utama konsernya adalah mahakarya komponis Italia, Mario Castelnuovo Tedesco, "Sonata Omaggio a Boccherini" yang panjangnya sekitar 18 menit (terasa lebih pendek sewaktu dimainkan John Paul, bukan karena tempo permainan yang cepat, tapi karena pendalaman struktural dan musikalitas yang jauh melebihi sekedar jemari menari di atas instrumen membuat karya ini menjadi utuh dan ekspresif). Kemudian Jessica hadir, karena kebetulan malam itu komponis Indonesia yang mereka persembahkan adalah karya saya untuk soprano dan gitar. Meskipun 2 lagu saya itu berdasarkan puisi Walt Whitman dan Henry Longfellow, ada unsur keindonesiaan dalam musiknya. Saya tidak akan mengulas karya sendiri di sini, hanya ingin menekankan bahwa dengan membawa identitas Indonesia, mereka memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh musikus Eropa yang sehingga dapat membantu mereka untuk menonjol (stand-out) dari para kolega mereka. Pemilihan mereka untuk karya berbahasa Inggris pun cerdas, karena karya tersebut dapat lebih berkomunikasi dengan pendengar asing. Tingkat kesulitan karya saya tidak setinggi karya Rodrigo atau Castelnuovo Tedesco, tapi pada akhirnya yang dibutuhkan penonton memang bukan akrobat virtuositas, melainkan kekuatan komunikasi para musikus ke penonton, dan untuk itu dibutuhkan kematangan bermusik seperti yang dimiliki mereka berdua. Satu not bisa saja lebih ekspresif dari ribuan not-not yang bertebaran dan secara cepat dibawakan oleh jemari atau pita suara yang lentur. Dengan menyandingkan Tedesco dengan saya, komunikasi antar budaya Italia dan Indonesia terjalin di konser ini. ............................................................................................................................................. Mereka mewakili banyak pemusik muda Indonesia yang berprestasi gemilang di luar negeri. Pianis Edith Widayani (yang kini sedang menempuh program Doktor di Eastman School of Music) menjadi pemenang pertama di Chopin Competition di Amerika tahun 2014. Soprano Bernadeta Astari yang lulus dengan Summa Cum Laude dari Utrecht Conservatory of Music adalah anggota Nederlandse Reisopera yang bergengsi dan menjadi tokoh utama berbagai opera di Belanda dan sekitarnya. Penyanyi countertenor Julius Firdaus setelah lulus sebagai "Musician of the Year 2013" di Australian International Conservatory of Music (Sydney) menjadi kepala dari departemen untuk rehearsals di Sydney Opera House dimana dia juga menjadi solois dalam beberapa produksi opera. Saya hanya menyebut 3 contoh yang paling menonjol dan telah memenangkan berbagai kompetisi internasional serta melanglang ke mancanegara, dan jika diteruskan, artikel ini hanya akan berisi nama-nama lain. Memang kita masih jauh di bawah --dan saya kira tidak akan mencapai-- Cina dimana ada 40 juta lebih pianis (dan pemain instrumen lain juga mencapai jutaan), tapi jumlah pemusik genre ini masih terus meningkat dengan pesat di Indonesia. ............................................................................................................................................. Di salah satu perbincangan saya dengan mantan Presiden B.J. Habibie, beliau mengatakan bahwa beliau bisa mengerti jika para lulusan bidang musik sastra tidak mau pulang ke Indonesia karena ketidakjelasannya lapangan pekerjaan di sini. Waktu itu beliau mengacu ke saya dan membandingkannya dengan pengalaman beliau di bidang teknologi. Tapi apakah itu berarti bahwa kami yang "kecantol" di luar negeri itu memang tidak berguna untuk negara? ............................................................................................................................................. Seperti pak Habibie, saya percaya bahwa kaum diaspora tetap atau bahkan dapat lebih berguna untuk tanah kelahiran jika tinggal di luar negeri. "Cari makan" di negeri orang itu bukan "pengkhianatan" terhadap negara asalnya, karena kami tidak menghabiskan uang negara. Bahkan kaum diaspora yang cerdas, ambisius, jujur, cinta terhadap pekerjaannya serta idealis malah membawa nama negara selama ada di luar. Istilah "brain drain" dengan terjemahan harafiahnya ("otak terkuras") malah menjadi lebih tepat jika mereka yang punya keahlian khusus itu tidak dapat terpakai di dalam negeri karena negara belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk itu. Sekarang, dengan minat di musik sastra yang begitu besar di Indonesia (walaupun baru di kota-kota besar), banyak lapangan kerja terbuka untuk para musikus lulusan luar negeri: sebagai pengajar, pemain orkes, pengisi musik untuk teater, film dan tari. Selain itu, saya pun telah membuktikan bahwa konser dan rekaman CD maupun distribusi lewat toko daring seperti iTunes dengan musik sastra Indonesia cukup diminati; memang tidak bisa dibandingkan dengan penghasilan dari musik pop, tapi ini sebuah indikasi yang bagus. ............................................................................................................................................. Manajemen untuk jenis musik ini di Indonesia pun masih dalam tahap uji coba, karena jenis musik ini memang membutuhkan cara yang berbeda dengan musik-musik lain yang lebih komersial, ditambah dengan cara penerimaan publik Indonesia (dan negara-negara Asia pada umumnya) yang berbeda. Memang manajemen ini bisa dipelajari di Eropa, tapi tidak segampang itu menerapkannya di Indonesia dan Asia. Indonesian problems need Indonesian solutions, itu selalu dasar pemikiran saya di Indonesia, setelah tinggal hampir 30 tahun di Eropa. Bahkan penurunan drastis minat publik terhadap musik sastra di Eropa sendiri pun adalah kesalahan marketing dan manajemen seni yang bertumpu pada subsidi pemerintah lokal (yang terus menyusut drastis) dan bukan dari penggalangan minat penonton, yang ironisnya masih diterapkan di banyak fakultas manajemen seni di Eropa. ............................................................................................................................................. Salah siapakah sampai fenomena brain drain ini terjadi? Siapapun yang anda tunjuk, yang bisa kita lakukan adalah berpikir bagaimana memaksimalisasi para ahli ini untuk negaranya sendiri dan mengubah brain drain menjadi brain bank. Cina baru saja meluncurkan sebuah proyek untuk mengembangkan 100 universitas menjadi lembaga kelas dunia yang tidak hanya memberikan pendidikan tinggi, tetapi juga lapangan kerja akademik dan kesempatan penelitian. Pemerintahan Uni-Eropa kini sedang berusaha meningkatkan daya tarik Eropa menjadi daerah penelitian dan jumlah dana yang ditujukan untuk sumber daya manusia di program lima-tahunan Research Framework Programme dari ke 6 dan ke-7 telah digandakan dari € 18 M ke € 50 M. Indonesia, dengan kekayaan musik daerahnya sangat berpotensi juga untuk digali, diteliti dan dikembangkan untuk musik sastra seperti yang telah saya lakukan di Rapsodia Nusantara yang kini telah menjadi bagian dari jemari ratusan pianis di mancanegara, dengan "efek sampingan" positifnya adalah pelestarian lagu-lagu daerah yang sudah banyak yang punah itu. Pastinya ada banyak cara lain untuk mengeksploitasi kekayaan budaya kita, bukan? ............................................................................................................................................. Ananda Sukarlan, Pianis & komponis, @anandasukarlan

viernes, 1 de enero de 2016

Second part of my article for SARASVATI Magazine (December)

Happy new year! First entry on the first day of 2016. Here is the second part of my article commissioned by SARASVATI art magazine, published in December. But there is an extra, here. After submitting my article, the editor asked me if I could substitute one of the items for the topic "Is it true that classical music is only for intellectuals?". So I replaced one point for this subject. And here, you have that item PLUS the original. That item is placed in the end of this article. ............................................................................................................................................. (sambungan dari edisi November) ............................................................................................................................................. Terima kasih atas banyaknya respon dari tulisan saya bulan lalu. Memang banyak mitos yang "diciptakan", sebetulnya murni hanya untuk marketing saja, seperti misalnya pentingnya seorang dirigen, sehingga dirigen dapat meminta gaji yang super tinggi. Untuk menegaskan lagi apa yang telah saya tulis, seorang dirigen memang sangat overestimated. Masalahnya, gaji yang ia dapatkan di Eropah itu berasal dari subsidi pemerintah. Ia "membuang" uang rakyat yang kebanyakan tidak menikmati hasil kerjanya, lain dengan gaji seorang aktor Hollywood yang berbanding dengan jumlah uang yang ia masukkan dari penontonnya yang membayar dengan sukarela kemudian menguntungkan produser filmnya. Berikut ini mitos-mitos lain di dunia musik yang misterius ini. ............................................................................................................................................. 6. Namanya juga Musik Sastra, musik yang tertulis. Jadi setiap kali dibunyikan, pasti bunyinya sama. ............................................................................................................................................. Notasi musik sama sekali tidak memadai untuk mengekspresikan cinta, kesedihan atau emosi lainnya yang sangat dalam. Padahal musik itu justru bisa mengekspresikan hal-hal yang terlalu kompleks untuk bisa diekspresikan dengan kata. Oleh karena itu, partitur yang ditulis hanya mengisyaratkan bagaimana komposisi harus dimainkan dengan meletakkan not-notnya, perkiraan tempo (kecepatan) dan gambaran umum tentang perasaan di balik itu antara lain intensitas keras/lembutnya. Dari mana informasi tambahan didapatkan? Dari pemahaman terhadap musik itu: pengertian latar belakang penciptaannya serta menempatkan diri menjadi komponis karya tersebut. Memang banyak musisi klasik berlatih ribuan jam untuk mendapatkan konsistensi dan kesempurnaan, dan itu ada efek negatifnya: spontanitas dan kesegaran ide menjadi hilang, padahal itu elemen yang sangat penting dalam "live performance". Ini yang membuat mitos ini menjadi populer. Musik J.S. Bach bisa bertahan melawan ujian waktu lebih dari 300 tahun karena ia memberi peluang untuk interpretasi yang berbeda, yang membuatnya berkembang. Walaupun inisialnya sama, musiknya beda dengan Justin Bieber, dimana musik itu tergantung dari eksistensi packs di perutnya dan bukan kualitas, kedalaman dan kemungkinan auralnya untuk bisa diobservasi dari berbagai sudut. ............................................................................................................................................. 7. Seorang performer itu bukan guru yg baik, begitu pula sebaliknya, orang jadi guru itu karena performance-nya jelek. ............................................................................................................................................. Wah, ini sama sekali tidak relevan. Satu hal yang harus selalu diingat adalah, bahwa apa yang sudah bagus dimainkan di ruang kelas itu bisa berbalik 180 derajat ketika dimainkan di panggung. Banyak sekali hal terkait: (tidak adanya) komunikasi dengan penonton, demam panggung, akustik ruangan, bahkan dalam kasus para pianis, jenis piano yang berbeda. Seorang guru yang tidak mengerti problematika menghadapi penonton, seberapapun tinggi pengetahuan teknisnya, tidak akan bisa mencetak murid yang handal, karena pada akhirnya seorang musikus itu dinilai reputasinya di depan penonton, bukan sendiri di ruangan. ............................................................................................................................................. 8. Musik klasik itu buat pengantar tidur. ............................................................................................................................................. Ya memang, kalau anda mengacu ke Moonlight Sonata-nya Beethoven. Tapi, coba dengar Simfoni no. 5-nya komponis Jerman itu, Hungarian Rhapsody-nya Franz Liszt (yang no. 2-nya pernah dijadikan kartun Tom & Jerry), atau nomor-nomor Rapsodia Nusantara saya, bahkan Romeo & Juliet-nya Prokofiev yang kesannya lagu cinta, padahal berisik minta ampun. Saya jamin anda susah tidur! ............................................................................................................................................. 9. Virtuositas itu adalah "pamer" ............................................................................................................................................. Karena tingkat kesulitan teknik permainan dalam musik sastra sering sampai taraf "wow", seringkali "pamer" adalah tujuan utama para musikus (hal ini yang membedakan antara yang amatir dengan yang "pro"), bahkan hal itu memang diinginkan oleh satu segmen publik. Di antara para orangtua, mereka misalnya ingin pamer bahwa anaknya bisa main semua instrumen. Kadang-kadang mereka ingin anak mereka tampil sebanyak-banyaknya. "Bisa" main semua instrumen itu tidak ada gunanya pada waktu sebuah pagelaran. Penonton butuh satu pagelaran utuh, atau suatu konser butuh pemain yang main 1 instrumen dengan baik, bukan "kutu loncat". Penonton ingin terinspirasi atau tersentuh permainan/nyanyian yang ekspresif, bukan keahlian (yang notabene setengah-setengah) pindah instrumen dari satu ke lainnya. Bahkan Mozart pun hanya bisa menguasai penuh 2 instrumen, yaitu piano dan biola. Para pemusik profesional itu sering disalahpahami "pamer" karena diminta oleh manajernya, tujuannya hanya untuk marketing yang fokus ke produk seni itu. ............................................................................................................................................. PRODUK. Itu yang diakui dari seniman apapun. Seorang komponis harus menulis musik, pelukis ya melukis, karena cara itu yang meningkatkan kualitas produknya. Kita tidak dinilai dari status facebook, tweets atau nama yang besar bahkan selfies kita yang secara periodik muncul di instagram. Bahkan senyinyir apapun seorang "seniman" mengkritik seniman lainnya, akhirnya pembaca akan membandingkan produk kedua orang tsb. Prinsip seorang seniman sejati adalah "Saya yang menulis/melukis/memahatnya, Tuhan yang menginspirasinya, orang lain yang mengomentarinya". Kalau sekedar pamer, itu malah bisa "salah pamer" karena target marketingnya kadang bukan yang dipamerkan tersebut. Seorang pianis yang konser "semua karya Tchaikovsky" itu mungkin dihargai, tapi tidak diminati karena yang penting itu bukan "seberapa banyak karya Tchaikovsky yang dia bisa mainkan". Ini bedanya seniman dan selebritas. Seorang selebritas tidak perlu produk. Disini tentu aspek visual berperan besar, yang membuat tingkat "keindahan visual" fisik sang pemain banyak berpengaruh. Ia bisa nge-tweet "siang ini makan apa yaaa" dan kemudian di retweet 1000x, karena followers-nya tertarik dengan dia , dan bukan dengan produknya. Jika seorang pemenang Nobel sastra nge-tweet yang sama, followers-nya akan berpikir "so what?" karena yang dibutuhkan penggemarnya adalah karyanya, bukan lifestyle atau private life-nya. ............................................................................................................................................. 10. Nah, untuk penutup, saya ingin menyatakan 1 mitos yang memang benar: kutukan Simfoni ke 9. ............................................................................................................................................. Percaya atau tidak, sejak Beethoven wafat th. 1827, hampir semua komponis terkemuka tidak ada yang bisa menulis lebih dari 9 simfoni. Schubert, Bruckner, Dvorak (dengan simfoni ke-9nya yg terkenal "From The New World") wafat setelah menyelesaikan simfoni ke-9 mereka. Gustav Mahler mengobservasi kasus 4 komponis ini, sehinggal setelah simfoni ke-8 nya ia menulis karya "Das Lied von der Erde" (Nyanyian Bumi) yang sebetulnya adalah sebuah simfoni. Setelah ia "selamat", ia berpikir bahwa ia akan bisa mencipta simfoni yang banyak setelah itu. Simfoninya ke-9 pun dia tulis, dan saat ia memulai simfoni ke-10 ... anda bisa tebak apa yang terjadi. Itu di tahun 1911. Setelah itu, "kutukan" ini masih terus berjalan dan menjalar ke seluruh dunia. "Korbannya" a.l. Vaughan Williams (Inggris, wafat 1958), Jean Sibelius (Finlandia, 1957. Simfoni no.1 nya bukan memakai judul "simfoni" tapi "Kullervo" -- ia masih sangat muda sehingga kurang percaya diri untuk mencipta sebuah simfoni--, sehingga ia meninggal saat menulis simfoni no. 8 nya), Roger Sessions (Amerika, 1985). Mahler sendiri menganggap bahwa "sang pengutuk" adalah Beethoven, karena sebelumnya di abad 18 Haydn, Mozart dll mencipta puluhan simfoni. Mitos ini saya dengar pertama kali saat saya bekerja dengan komponis Rusia, Alfred Schnittke. Waktu itu tahun 1992, saya baru berumur 24, dan saya tanya, "apa yang sedang anda kerjakan sekarang?". Jawabannya: "Saya sedang menulis simfoni ke-6, jadi semoga saya masih bisa bikin 3 lagi". Karena tidak mengerti kenapa, saya bertanya dan disaat itu ia menjelaskan soal ini. Bertahun-tahun kemudian, saya tidak kontak Schnittke (saat itu belum ada internet apalagi facebook!), sampai 1998 saya mendengar tentang wafatnya. Saya kemudian telpon manajernya, dan sekalian saya bertanya, "waktu beliau wafat, sedang mengerjakan apa?" Jawab manajernya: "Simfoni ke-9". ............................................................................................................................................. And here is the new item, substituting no. 8: ............................................................................................................................................. 8. Musik sastra hanya untuk orang "intelek". ............................................................................................................................................. Ini adalah hasil pengajaran dan marketing yang salah dari para musikus sendiri dan "snobs" yang jadinya membuat penikmat musik ini menjadi sangat "segmented". Mereka membanggakan betapa sulitnya memainkan (atau inteleknya: menginterpretasi) musik. Mereka cerita berapa tahun mereka butuh melatih dan mempelajarinya, supaya anda berpikir, "oh wow, karena butuh begitu lama, saya harus menyukainya (inteleknya: mengapresiasi)!" Sekarang ketika anda menonton konser, anda jadi fokus ke jari-jari mereka dan (harus) kagum dengan kecepatan bergeraknya, progresi akordnya, latar belakang musiknya dst. dst. Anda lupa keindahan musiknya, hanya mencari aspek teknisnya saja. Pendeknya: lupa untuk duduk dan menikmati! Saya sih tidak mengerti, kenapa banyak kolega saya tidak puas jika publik bisa "hanya" menikmati saja tanpa "mengerti". Mereka bahkan demen banget berceramah menganalisa musik yang akan dimainkan secara bertele-tele. ............................................................................................................................................. Musik itu indah dan kami para komponis tugasnya adalah menyusun nafas kehidupan bahkan proses biokimia manusia ke kertas partitur. Musik harus bisa mengungkapkan perasaan yang terdalam dari hati kita. Pendengar tak perlu memiliki leksikon dan penguasaan retorika yang kaya untuk mendiskusikan dan menelaah sebuah karya musik, buat saya pribadi sih cukup jika anda bisa mendengarkannya dan bilang, "uuuh."