sábado, 25 de abril de 2015

Preface to Alicia's Fifth Piano Book

While Alicia (who is now 16) doesn't play the piano anymore, I still do write music for the instrument once in a while in my spare time. It's been approximately 1 year after the publication of Alicia's 4th piano book, and it (and its predecessors) have been proven so popular and useful for young pianists, therefore I was constantly asked for a new collection of piano pieces. So I gathered all my files, not only in my computer but also those papers I wrote during my travels (mostly by plane when it's too fussy to open the laptop) and I found all these works that I could present to you all in this book. ............................................................................................................................................. I think about many people while composing, but when I wrote these pieces I mainly thought of the (very) young ones . In fact, we in Indonesia should be happy that classical music is being a hot stuff among young people. In Europe, we have this joke now: What do classical music concerts and cigarette companies have in common? Answer: It’s the age problem. How do you stay in business when your customers keep dying? ............................................................................................................................................. I also give more and more masterclasses now in many cities and countries , and I am enjoying it more and more meeting young musicians. Teaching has never been so fun like these days, with all those enthusiastic kids and teenagers (yeah, yeah, THEM, not their parents nor their teachers) in Indonesia. They might learn something from me, but I certainly learn a lot from them. Each student / participant came with their uniqueness which inspires me. I don't think it's true that only great artists can inspire ; I do find inspiration from everyone I met including, or especially, from their imperfections. In fact, the beauty of art lies in human imperfections of its artists. If only the Indonesian government would give subsidy for classical music, in 5-6 years the world will be filled not only with prominent Chinese pianists but Indonesians as well. They need promotion and adequate management to take part in this tough Western classical music circle. ............................................................................................................................................. Apart from works for piano solo, there is one work for piano duet (4-hands) in this book. This is an addition to the collection "Pieces of Cakes" that appeared already in the previous Alicia's Piano Books. If you would like to perform them all, you can do it in the order you like since I am hoping that the number of pieces would still grow, but for now my personal suggestion would be : 1. Chocolate Mousse. 2. March of the Gingerbread Boy. 3. Apfelstruedel. 4. Strawberry Cheesecake. ............................................................................................................................................. The composer is deeply thankful to the team of piano teachers at the KITA Anak Negeri (Depok, West Java) for supervising and giving the grades to each piece in this book. ............................................................................................................................................. Ananda Sukarlan April 2015

domingo, 12 de abril de 2015

Pendidikan Musik, Apa Perlunya? (Article at Jawa Pos, 12-4-2015)

This article of mine was published on Sunday, April 12th at Jawa Pos. Please use Google Translate to read it in English. .............................................................................................................................................. Ya, ya, harus kita akui bahwa pendidikan musik (klasik) untuk anak di bawah 7 tahun saat ini memang cukup populer di keluarga kalangan menengah keatas.. Tapi, apakah benar bahwa pendidikan musik, apalagi musik klasik itu hanya berfungsi sebagai "hiburan", menyibukkan anak supaya mencegahnya mengerjakan hal-hal lain yang tidak positif atau malah hanya untuk status simbol sang orangtua? Di sini penulis ingin mencoba menganalisa keadaan ini setelah beberapa tahun terakhir aktif mengunjungi beberapa kota di pulau Jawa dan Sumatra untuk memberi masterclasses kepada para pianis muda yang kalau dihitung jumlahnya kini ratusan, dan karena penulis adalah pemusik dari aliran "klasik", maka tiap kali kata "musik" disebut di artikel ini, biasanya penulis bermaksud musik klasik. .............................................................................................................................................. Menurut banyak hasil riset, musik terbukti sangat berguna untuk banyak hal, baik untuk kecerdasan maupun perkembangan jiwa. Meskipun kegiatan mendengarkan musik sudah umum di semua masyarakat negara berkembang dan maju, faktor penentu kebutuhan biologis mendengarkan musik masih belum diketahui. Menurut sebuah studi baru, mendengarkan musik klasik meningkatkan aktivitas gen yang menghasilkan sekresi dopamin serta memperkuat daya pembelajaran dan memori. Mendengarkan musik merupakan fungsi kognitif yang kompleks dari otak manusia, yang diketahui dapat menginduksi beberapa perubahan neuronal dan fisiologis, namun latar belakang molekuler yang mendasari efek mendengarkan musik sebagian besar masih belum diketahui. Sebuah kelompok studi di Finlandia telah menyelidiki bagaimana mendengarkan musik klasik mempengaruhi profil ekspresi gen dari pendengar yang fokus (bukan mendengarkan musik hanya sebagai latarbelakang / sambilan) baik yang memang penikmat musik klasik maupun yang belum pernah mendengarnya. .............................................................................................................................................. Dari mendengarkan musik itulah berkembang keinginan anak untuk mencoba memainkan alat musik, yang efeknya jauh lebih daripada hanya sekedar mendengarkan, karena bermain instrumen melibatkan kegiatan fisik. Sayangnya, masih banyak yang percaya bahwa keberhasilan anak-anak dalam kehidupan hanya tergantung pada keterampilan kognitif serta kecerdasan yang diukur pada tes IQ dan segala hal yang bersifat logis. Juga dipercaya bahwa sekolah harus terutama difokuskan pada pengisian otak anak-anak dengan sebanyak mungkin pengetahuan faktual, bukan pada pertumbuhan kreativitas, imajinasi, ketrampilan psikologis dan pola pikir. Ketrampilan psikologis itu mencakup antara lain: rasa ingin tahu dan keuletan untuk memecahkan masalah, kesabaran untuk bertahan pada tugas berat (dan mungkin membosankan), kemampuan untuk menunda kepuasan dll. .............................................................................................................................................. Memegang alat musik di tangan anak anda bisa menjadi kunci untuk mengembangkan ketrampilan psikologis tersebut. Jangan salah paham. Anak-anak kita tidak perlu belajar instrumen dengan harapan bahwa mereka akan menjadi seorang musisi profesional. Sama saja, mereka tidak mempelajari buku matematika dengan harapan mereka menjadi ahli matematika, bukan? Pendidikan ketrampilan koordinasi indera dan otak ini yang lebih berguna untuk perkembangan mereka. Ingat, pendidikan musik yang lengkap HARUS melibatkan membaca partitur, menterjemahkannya menjadi suara yang diproduksi oleh alat musik dan memadukan not-not itu menjadi melodi dan harmoni yang indah, sehingga ada 3 indera yang terlibat : penglihat, pendengar dan perasa (seberapa besar tekanan di tuts piano, atau senar biola / gitar, atau tiupan di flute harus dikontrol oleh sensitivitas). Setelah mereka fasih membaca partitur serta menguasai teknik permainan instrumen yang paling dasar dengan baik, baru kemudian mereka dapat mengembangkan kreativitas dalam berimprovisasi dll. Nah, penulis telah mengamati bahwa ada dua hal pokok yang harus benar-benar dipahami oleh sang anak yang baru mulai belajar memainkan instrumen : .............................................................................................................................................. 1. Kerja keras selalu mengalahkan bakat. Berlatih berulang kali untuk mengasah ketrampilan dengan cara yang benar mengaktifkan sirkuit di otak kita yang memperkuat keterampilan itu. Tentu saja untuk beberapa gelintir orang ada keterampilan tertentu yang lebih mudah pada awalnya daripada yang lain, tetapi orang-orang yang berlatih keterampilan yang setiap hari untuk "merekamnya" ke dalam otak mereka selalu akan jauh melampaui orang-orang yang tidak berlatih cukup. Bakat memang membantu, dan penulis tidak bisa menyangkal bahwa anak yang berbakat membutuhkan lebih sedikit waktu dan tenaga untuk menguasai satu ketrampilan, tapi bakat itu kadang-kadang malah berbahaya untuk menjadi alasan untuk menjadi malas. Berlatih alat musik membantu anak-anak belajar kebenaran universal ini : kerja keras mengalahkan bakat. .............................................................................................................................................. 2. Kegagalan/kesalahan itu adalah satu hal yang sangat lazim dan sangat diperbolehkan. Kita justru akan menjadi lebih baik karena pernah mengalami kegagalan. Tidak ada nilai merah, tidak ada yang buruk ketika kita bermain sesuatu yang "salah" dalam musik semasa periode pendidikan. Untuk menjadi terampil memainkan alat musik - dan menjadi terampil pada apa pun - kita butuh perjuangan. Dalam kasus anak / pemula, mereka perlu bermain buruk sebelum mereka terdengar lebih baik sehingga mereka dapat membedakannya; mereka perlu bekerja pada hal-hal di luar apa yang mereka mampu untuk mendapatkan yang lebih baik, dan itu berarti mereka harus diperbolehkan membuat kesalahan. Perbedaannya sangat jelas antara apa yang kita semua mampu lakukan dan apa yang kita ingin bisa lakukan, dan fokus pada perbedaan tersebutlah yang membuat kita hari ini menjadi lebih baik dari kita sebelumnya. Belajar alat musik memungkinkan kita untuk belajar dan tumbuh justru dari kesalahan kita. .............................................................................................................................................. Hal-hal diataslah yang penulis amati di ratusan pianis muda yang pernah mengikuti kompetisi piano Ananda Sukarlan Award selama bertahun-tahun ini. Banyak sekali pianis muda yang akhirnya "gugur" hanya karena "kalah" di kompetisi. "Kekalahan" diinterpretasi sebagai "kegagalan" dan kemudian dilanjutkan dengan "ah, mungkin memang (anak) saya sebaiknya tidak melanjutkan main piano". Padahal, sebuah kompetisi yang berkategori "junior" (bukan seperti Ananda Sukarlan Award International yang diadakan di Jakarta, yang memang untuk para profesional dan dapat menentukan langkah awal karir mereka) memfokuskan justru ke apa yang penulis sampaikan tadi : kompetitor terbesar seorang peserta bukannya sesama pianis, melainkan diri peserta itu sendiri, karena ia dituntut untuk bermain lebih baik daripada apa yang ia kira ia bisa lakukan. Mengikuti kompetisi membuat pianis muda berlatih untuk mengatasi tekanan di panggung, atau "stage fright" yang biasa kita sebut "demam panggung". Demam panggung ini yang sering membuat penampilan kita lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya. Tapi, itulah gunanya musik : untuk berkomunikasi dengan publik serta untuk menyampaikan ekspresi yang terlalu dalam untuk bisa disampaikan dengan kata-kata. Dan dalam musiklah kebebasan berekspresi itu bisa dimanifestasikan secara total. Itu adalah sebuah kemewahan yang hanya ada di bidang seni, dan jika kita berhasil menaklukan diri kita sendiri, itu akan menghasilkan sebuah kepuasan tersendiri yang unik, karena berekspresi lewat musik membutuhkan kejujuran, tanpa perlu "jaim". Penulis selalu bilang, "Jika anda ingin mengerti saya, dengarlah omongan saya, tapi jika anda ingin mengenal saya, dengarlah musik saya". .............................................................................................................................................. Penulis adalah pianis & komponis Indonesia yang tinggal di Spanyol. Ananda Sukarlan Junior Award akan diadakan di Makassar, 21-23 Agustus tahun ini. Ia bisa dihubungi di twitter @anandasukarlan

miércoles, 8 de abril de 2015

Classical music and loneliness. Oh yes, in Asia.

Between July and August I will be working with hundreds -- literally hundreds -- of young musicians in 3 cities in Indonesia : Jakarta, Makassar and Jogjakarta. It would be quite normal if it were in Europe, but in Indonesia? Oh I forgot to tell you, I am talking about CLASSICAL music. What's happening in Asian countries? Why is classical music suddenly a hot property among young people? Oh, you still don't know this situation? Well, the superstar violinist Sarah Chang said a few years ago in an interview : “Music is a huge part of life for most Asian families. Most Asian children I know start taking violin, piano, or cello lessons from an early age.” And another superstar violinist, the irresistably handsome Joshua Bell said “There was a time when practically every major soloist was Jewish. Every Jewish kid grew up wanting to play the violin. Now it’s true among Asians.” In fact, as I am writing these lines, an email notification arrived saying that the new concertmaster of the New York Phil is the Chinese born Frank Huang. See, most of the young superstars now are Asians. But one thing I noticed. Asian performers gravitate almost exclusively to strings (excluding viola!), voice and piano: Those instruments which, within a genre that symbolizes class mobility in Asia, are at the top of the heap. Rarely does one encounter an Asian conservatory student playing the clarinet or french horn, or any instrument that does not afford the possibility of soloist superstardom. .............................................................................................................................................. In Europe, we have this joke now: What do symphony orchestras (or classical music biz in general) and cigarette companies have in common? Answer: It’s the age problem. How do you stay in business when your customers keep dying? .............................................................................................................................................. Well, to start with, Asia is one place where classical artists can be genuine pop stars in ways long forgotten in Europe. Long gone is the period of Liszt being the subject for sexual fantasies of all women in Europe. And why this shift to Asia? My theory is .... is ....that in general, Asians are more hardworking (or at least willing to) in achieving our goals in classical music. Perhaps because classical music is by nature not in our blood, so we gotta work harder in "understanding" it. And classical music is not easy to master, as you know. But mostly, I think, is that Asian are more sociable people than the "Westerns". And the word "social" nowadays is automatically translated to "social media". We know that Jakarta is the no. 1 city for twitter, and Indonesia is the number ... what, 4 or 5? in the world of Facebook users. And social media is an embodiment of, among others, classical music. .............................................................................................................................................. Social media—from Facebook, Twitter, Instagram you name it —have made us more densely networked than ever. Yet for all this connectivity, we have never been lonelier (and ... ehm ... more narcissistic), and that this loneliness is making us mentally sick. And we need a cure for that. Within this world of instant and absolute communication we suffer from unprecedented alienation. We have never been more detached from one another, or lonelier. In a world consumed by ever more sophisticated modes of socializing, we have less and less actual society. We live in an accelerating contradiction: the more connected we become, the lonelier we are. And that's when classical music clicks with this loneliness. Classical music is, in my theory, a product of loneliness. Just look at history : Gustav Mahler needed to go to his hiding place in the forest to write his symphonies, Franz Schubert was a total nerd that he gotta turn to (male?) prostitutes for his sexual needs, Maurice Ravel died a virgin (or at least that's what he confessed). And who could be lonelier by the poor, deaf Beethoven? But not only that. When we are lonely, we listen to Chopin piano works and other brooding classical pieces. Barber's Violin Concerto, Tschaikovsky that bloody tearjerker, you name them. Now, which is first, lonely people listens to classical music, or classical music gives the brooding, lonely feelings? It makes us smarter, more sensitive, yeah, but it also touches parts of our brains and hearts that normally couldn't be touched. And those parts are where we see ourselves, and therefore we know more, we FEEL more. People who play in bands aren't lonely. They have fun, they write (write? No, pop music is usually not written) music together, they hang out together. Do you know how many chamber music groups where 2 or more members have irreconcilable differences? When that happens in a pop group, the group fall apart. Not in classical music. Members of a string quartet can disagree with each other, yet the quartet goes on around the world. The existence of the music score makes it easier, but also makes less communication between the members of the classical group. The communication is on a higher level, which is musical. And music communicates the truth. And the truth sometimes hurts. And therefore, we become lonely. .............................................................................................................................................. And yet, it is also social media who helps the popularizing of classical music. Now that the "traditional media" don't give enough attention to classical music, it is the social media that do the job. And we, Asians, could get around better with social media. And since we are not bound by traditions, we can present classical music concerts in more innovative ways without feeling "guilty" of being a traitor of tradition. Yeah, classical music is cool! We rock, guys! ............................................................................................... --------------------------------------- My activities in Indonesia in July & August are: .............................................................................................................................................. 1. "Inspired by the Maestro". A series of seminar & Masterclasses in Jakarta in weekends throughout the whole month, finalized by a concert of the participants. Organized by ID Camp (instagram @id_camp ), you can tweet @id_camp for more info. .............................................................................................................................................. 2. Musical Experience with Ananda Sukarlan : in the beautiful city of Jogja, July 29-31. It is not limited to pianists, all instrumentalists are welcome. Contact Nirai Nathalia Kristiana (find her in Facebook) for more info. .............................................................................................................................................. 3. Ananda Sukarlan Junior Award : in Makassar (Sulawesi), August 21-23. It is the Junior category of the now highly popular piano competition, and the aim is preparing the participants to join the bigger, much more difficult piano competitions for professionals in the future, such as the Ananda Sukarlan Award International Piano Competition, held every 2 years (next one will be next year, 2016 in Jakarta). Tweet @eveline_philips or @ASApianocomp for more info.